Para Pihak Tanggapi Putusan MA tentang Bahasa Kontrak
Berita

Para Pihak Tanggapi Putusan MA tentang Bahasa Kontrak

Belum ada kepastian mengenai upaya hukum. Multitafsir atas suatu norma Undang-Undang bisa diselesaikan lewat Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Kuasa hukum Nine AM, Maulana Syarif. Foto: www.mkklaw.net
Kuasa hukum Nine AM, Maulana Syarif. Foto: www.mkklaw.net
Upaya Nine AM Ltd untuk mempertahankan keabsahan Loan Agreement dengan PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) akhirnya kandas setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi Nine AM pada 31 Agustus 2015 lalu. Nine AM adalah perusahaan yang berkedudukan di negara bagian Texas, Amerika Serikat, mengalami persoalan pelik lantaran kontrak ditulis dalam bahasa Inggris.

Kuasa Hukum Nine Am, Maulana Syarif mengaku kecewa atas putusan tersebut. Menurut Maulana, MA kurang teliti dan tidak melakukan pemeriksaan terhadap berkas-berkas yang telah diserahkan oleh pihaknya. Padahal, 35 berkas tersebut menegaskan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) jelas tidak memberikan sanksi bagi kontrak yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia.

“Karena dari sejak PN Jakbar kita sudah serahkan 35 bukti. Semuanya sudah kita sampaikan dan sudah jelas-jelas bahwa di peraturan sendiri yaitu UU Bahasa tidak ada sanksi batal. Seharusnya MA bisa melihat ke situ. Saya sih kecewa,” kata Maulana kepada hukumonline melalui saluran telepon, Jumat, (18/9).

Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa mengatur dengan tegas bahasa yang wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta, atau perseorangan warga negara Indonesia adalah bahasa Indonesia.

Maulana menilai, kewajiban untuk menggunakan Bahasa Indonesia dalam setiap kontrak atau perjanjian yang dilakukan di Indonesia hanya berupa himbauan. Yang terpenting, lanjutnya, kedua belah pihak saling memahami poin-poin yang dituliskan antara kedua belah pihak.

Di samping itu, putusan kasasi tersebut berbahaya bagi iklim investasi di Indonesia. Terutama bagi perusahaan-perusahaan yang notabene ‘baik’ akan terkena imbas atas putusan kasasi MA tersebut. “Karena ini BKPL sudah pinjam uang dan sudah memakai habis terus dengan acara apapun dia meminta pembatalan. Kan tidak fair,” tambahnya.

Namun hingga kini rencana untuk menempuh upaya hukum lanjutan (Peninjauan Kembali) belum diputuskan. Pihaknya masih melakukan pembahasan dengan prinsipal apakah akan mengajukan PK atau tidak. Pihaknya perlu membaca secara lengkap isi putusan kasasi tersebut sebelum menentukan langkah selanjutnya. Jika pun upaya PK tidak dilakukan, lanjut Maulana, BKPL tetap harus melunasi sisa pokok pinjaman senilai AS$115.540. “Masih menunggu konfirmasi dari Nine AM,” ucapnya.

Dikisahkan oleh Maulana, kontrak tertanggal 27 April 2010 bukanlah kontrak pertama antara Nine AM dan BKPL. Nine AM dan BPKL sudah melakukan kerja sama sejak 2005 silam. Semua komunikasi antara kedua belah pihak pun, baik melalui email maupun telepon dilakukan dalam Bahasa Inggris. Herannya, dalam kontrak kali ini pihak BKPL justru mempermasalahkan penggunaan Bahasa Inggris tersebut. Maulana menilai BKPL seolah-olah mencari celah untuk membatalkan kontrak. Nine AM mengklaim  sudah menanyakan kepada Direksi BPKL dan dijawab sudah paham dan mengerti.

Sebaliknya, kuasa hukum BKPL Antawirya Jaya mengapresiasi putusan kasasi karena sudah sejalan dengan UU Bahasa yang mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam setiap kontrak yang dilakukan di Indonesia. Kalaupun tak ada sanksi dalam UU Bahasa tersebut, itu lain cerita. Menurutnya, kata wajib dalam UU Bahasa menegaskan keharusan penggunaan Bahasa Indonesia dalam setiap isi kontrak.

“Saya pikir kata-kata ‘wajib’ itulah yang saya pakai, namanya wajib ya kewajiban, harus. Bahwa dipersoalkan tidak ada sanksi itu lain cerita. Tapi saya berfokus kenapa ada wajib kalau memang itu tidak wajib. Misalnya kalau dikatakan itu dapat, itu lain lagi dan artinya itu bisa dipilih mau menggunakan bahasa apa,” kata Antawirya kepada hukumonline.

Kendati Peraturan Pemerintah (PP) atas UU Bahasa ini memungkinkan penggunaan bahasa asing dalam kontrak atas kesepakatan kedua belah pihak, Antawirya mengingatkan bahwa posisi PP tidak bisa mengalahkan UU. Kata ‘wajib’ tetap akan muncul sebagai konsekuensi dari sebuah UU. Jika terjadi penafsiran yang berbeda, Antawirya mempersilahkan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Diakui Antawirya, saat penandatanganan kontrak antara Nine AM dan BKPL, ia belum menjadi kuasa hukum Andi Sutedja selaku Direktur Utama BKPL. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Andi, kliennya hanya diminta untuk datang ke Kantor Hukum Mochtar Karuwin Komar (MKK) guna menandatangani Loan Agreement tersebut. Nine AM yang diwakili oleh MKK, menyodorkan kontrak dalam Bahasa Inggris.

Saat itu, Andi tidak dalam posisi pihak yang paham hukum dan tanpa didampingi oleh kuasa hukum. Sehingga Andi mengakui tidak tahu menahu terkait UU Bahasa yang mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam setiap kontrak.

Berjalan satu tahun, Andi mulai merasa ‘aneh’ dengan besaran utang beserta bunga yang harus dibayarkan. Meski bisa berbahasa Inggris namun Antawirya mengatakan bahwa kliennya tak paham betul apa sebenarnya isi kontrak yang ia teken. “Dia melihat kok banyak klausul-klausul yang tidak dimengerti. Pertama kali merasa bunganya tinggi banget, besar banget. Tapi saat itu dia bayar terus. Nah karena tidak mengerti ya dia ikutin aja,” cerita Antawirya.

Antawirya menilai putusan MA adalah putusan yang adil. Pasalnya, pembatalan kontrak tidak menghapus kewajiban untuk  membayar sisa utang yang belum lunas. “Dia (BPKL) harus melunasi pembayaran. Ini putusan yang adil karena yang dia bayar itu apa yang dia terima, jadi bunga-nya itu yang hilang. Batal demi hukum berate kembali pada keadaan semula. Ini baru putus, kalau sudah putus baru dibayar. Kelanjutannya tergantung Nine Am, mereka minta dilunasi atau tidak,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait