Paradigma dalam Arbitrase di Indonesia: Win-Lose atau Win-Win/Lose-Lose?
Kolom

Paradigma dalam Arbitrase di Indonesia: Win-Lose atau Win-Win/Lose-Lose?

Indikator utama kemenangan dalam arbitrase adalah diterimanya argumen yang disusun, baik sebagai pemohon atau termohon, oleh majelis arbitrase atau arbiter tunggal.

Sebagai implikasi praktis dari nuansa paradigma tersebut, sebagaimana yang sering terjadi dalam proses beracara di pengadilan, terdapat tendensi untuk menganggap bahwa pihaknya yang benar. Tebang pilih fakta untuk menutup peluang kekalahan. Argumentasi biasanya diarahkan secara tendensius dan tidak objektif. Sedari awal, nuansa adversarial (permusuhan atau kompetisi) dibangun dengan upaya untuk mengalahkan pihak lawan.

Sementara itu, dalam konteks arbiter, apabila win-lose ini diterapkan pilihannya hanya dua dalam menilai suatu klaim: Pemohon yang menang atau Termohon yang menang. Tidak ada ruang bagi arbiter untuk menilai bahwa terdapat kemungkinan dalam suatu klaim tidak sepenuhnya Pemohon dalam posisi yang benar dan tidak sepenuhnya Termohon dalam posisi yang salah. Sejatinya, arbiter tidak dibuka ruang untuk memiliki penilaian secara independen dan tidak sepenuhnya sepakat pada kedua pendirian atau argumentasi yang diajukan masing-masing pihak.

Eksistensi kadar dan kompleksitas dalam setiap sengketa bisnis ini membuat penerapan zero-sum game menjadi problematis. Seakan-akan penilaiannya hanya 100:0 saja dan tidak membuka peluang pembagian tanggung jawab secara proporsional seperti 50:50 atau 60:40. Padahal, dalam banyak sengketa bisnis yang ditemukan, tidak selalu satu pihak benar 100% sementara pihak lainnya salah 100%.

Di sisi lain, penerapan paradigma win-win juga memiliki problematika bagi sebagian pihak. Merujuk juga kepada pengertian menang dan kalah yang telah dikonstruksikan sebelumnya, berarti argumentasi kedua pihak dalam suatu klaim dibenarkan dan dimenangkan. Apakah logis untuk mengatakan adanya dua proposisi yang berlawanan dan saling meniadakan tetapi keduanya sama-sama dimenangkan dan dibenarkan sepenuhnya? Tentu, terdapat kontradiksi. Apabila yang dimaksud adalah 50:50 atau 60:40, tentu ini juga tidak merepresentasikan pengertian menang yang sesungguhnya. Jauh lebih logis, apabila dua argumentasi tersebut dinilai salah kedua-duanya oleh arbiter (lose-lose), dan itu sangat dimungkinkan dalam banyak sengketa.

Paradigma win-win juga sering dinuansakan dengan jargon: menjaga hubungan. Sehingga, titik utamanya bukan penilaian terhadap benar dan salahnya argumentasi, tetapi pada intinya untuk mendamaikan. Arbiter tidak boleh membuat salah satu pihak merasa dalam keadaan kalah. Di akhir, masing-masing pihak harus merasa bahwa putusan yang diberikan membuat para pihak dalam keadaan menang; masing-masing mendapatkan apa yang diinginkan atau masing-masing harus berkorban untuk mengalah meskipun dalam posisi yang sepenuhnya benar. Meskipun demikian, ditemukan beberapa sengketa di mana memang hubungan keperdataan sudah tidak bisa dilanjutkan dan harus diputus. Dipaksa untuk melanjutkan dan menjaga hubungan hanya akan menyandera masing-masing pihak yang bersengketa.

Paradigma yang Seharusnya: Menyelesaikan Sengketa

Ada deviasi praktis dari konsep dasar arbitrase. Secara etimologis, arbitrase berasal dari bahasa Latin “arbitrare” yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan. Cukup sejalan, Subekti juga mengartikan arbitrase sebagai metode penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh arbiter. Secara hukum positif pun, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juga mendefinisikan arbitrase sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dengan kata lain, orientasi dari arbitrase adalah selesainya sengketa alih-alih untuk memenangkan klaim sebesar-besarnya secara sepihak.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menyelesaikan sengketa tersebut. Pertama, orientasi tersebut harus ada di dalam benak para pihak yang bersengketa. Terselesaikannya sengketa mensyaratkan penilaian dan pengungkapan data yang utuh dan objektif. Masing-masing pihak seharusnya tidak melakukan tebang pilih fakta dan kecenderungan menggunakan argumentasi atau teori-teori hukum secara bias. Pengungkapan fakta dan penyampaian argumentasi diarahkan untuk menjadikan terang suatu persengketaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait