Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan UU Menurut Pandangan MK
Terbaru

Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan UU Menurut Pandangan MK

“… Asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945.”

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Suasana rapat paripurna saat pengesahan RUU menjadi UU. Foto: RES
Suasana rapat paripurna saat pengesahan RUU menjadi UU. Foto: RES

Dalam beberapa tahun terakhir, frasa “partisipasi masyarakat” dalam proses pembentukan undang-undang (UU) kerap menjadi perhatian publik. Pasalnya, ada sejumlah pembentukan UU yang prosesnya dinilai tertutup dan minim partisipasi masyarakat sebagai pemangku kepentingan, sehingga dianggap cacat formil. Diantaranya, saat pembentuk UU melakukan perubahan UU KPK, UU MK, UU Cipta Kerja, hingga UU Ibu Kota Negara (UU IKN).

Masih dalam ingatan pubik, proses pembahasan dan pengesahan Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK) yang kemudian menjadi UU No.19 Tahun 2019 prosesnya begitu cepat dan minim masukan dari masyarakat. Bahkan, KPK sendiri kala itu tidak diminta masukannya. Alhasil, peristiwa ini menimbulkan aksi protes dari sejumlah elemen masyarakat termasuk mahasiswa hingga berujung “gugatan” di MK lantaran dinilai cacat formil dan materinya melemahkan KPK.   

Kemudian, saat merevisi UU No.24 Tahun 2003 tentang MK yang kemudian menjadi UU No.7 Tahun 2020. RUU MK disahkan menjadi UU hanya dalam waktu 7 hari kerja yakni dimulai dengan persetujuan pembahasan antara DPR dan pemerintah pada 24 Agustus 2020. Kemudian pada 26-29 Agustus dilakukan rapat tertutup panja untuk membahas daftar inventarisasi masalah (DIM). Lalu, pada 31 Agustus 2020 pengesahan RUU MK dalam pembicaraan tingkat I dan pada 1 September 2020 pengesahan RUU MK menjadi undang-undang dalam rapat paripurna.  

(Baca Juga: Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Kebijakan)

Sebagian kalangan menilai pengesahan RUU MK menjadi UU bermasalah dari segi prosedural pembentukan peraturan karena mengabaikan ruang partisipasi publik/masyarakat untuk memberi masukan. Selain itu, materi muatannya juga tidak substansial dan tidak mendesak karena hanya menekankan masa jabatan hakim konstitusi. Alhasil, Perubahan UU MK ini pun berujung gugatan di MK yang dilayangkan Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif.  

Berikutnya, saat pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang hingga terbitnya Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 terkait konstitusionalitas UU Cipta Kerja sampai saat ini masih menyisakan polemik. Dalam salah satu amar putusannya, MK menyatakan UU Cipta Kerja dinilai cacat formil dan inkonstitusional bersyarat dengan menentukan beberapa implikasi atas berlakunya UU tersebut lantaran proses pembentukannya minim partisipasi masyarakat.

(Baca Juga: Dinilai Cacat Formil, MK Putuskan Status Keberlakuan UU Cipta Kerja)

Dalam pertimbangan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada Kamis (25/11/2021) lalu, Mahkamah memberi penjelasan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningfull participation). “Berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk tersebut UU 11/2020 a quo dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan undang-undang, sebagaimana amanat UU 12/2011, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah.

Pada halaman 393 Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 itu termuat 3 syarat yang harus dipenuhi agar tercipta partisipasi masyarakat yang bermakna. Pertama, terpenuhinya hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Tags:

Berita Terkait