Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi Dinilai Makin Menyempit
Terbaru

Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi Dinilai Makin Menyempit

Padahal, secara normatif banyak pengaturan soal peran serta publik secara bermakna, tapi praktiknya masih terdapat jarak antara pembentuk kebijakan dan UU dengan masyarakat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Narasumber dalam diskusi virtual bertajuk 'Meaningful Participation: Challenges and Opportunities in Expanding Civic Space', Selasa (7/6/2022). Foto: RFQ
Narasumber dalam diskusi virtual bertajuk 'Meaningful Participation: Challenges and Opportunities in Expanding Civic Space', Selasa (7/6/2022). Foto: RFQ

Dalam beberapa tahun terakhir dalam pembentukan peraturan perundang-undangan atau pengambilan kebijakan tak melibatkan partisipasi publik secara bermakna. Masyarakat merasakan betapa menyempitnya ruang bagi masyarakat untuk memberi masukan dalam pembentukan peraturan perundangan. Namun setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian UU Cipta Kerja mengharuskan adanya partisipasi publik secara bermakna dalam setiap proses legislasi ataupun pengambilan kebijakan.

“Partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan hukum di Indonesia sangat penting untuk mempromosikan kebebasan masyarakat sipil,” ujar Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Muhammad Nur Sholikin dalam diskusi virtual bertajuk “Meaningful Participation: Challenges and Opportunities in Expanding Civic Space”, Selasa (7/6/2022).

Sholikin mengatakan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir proses legislasi minim terkait partisipasi bermakna (meaningful participation) yang dijalankan DPR dan pemerintah. Seperti  proses pembahasan revisi UU No.20 Tahun 2002 tentang KPK; UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; Perubahan Ketiga UU No.24 Tahun 2003 tentang MK; hingga UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Khusus, UU 11/2020, MK memberikan catatan khusus, agar pembentuk UU memperbaiki proses pembentukan UU dengan partisipasi bermakna.

Baca Juga:

Menurutnya, dalam pembentukan UU terdapat lima tahapan. Pertama, perencanaan yang menghasilkan program legislasi nasional (Prolegnas). Tahap tersebut cenderung didominasi oleh kalangan politik elit. Kedua, penyusunan yang menghasilkan naskah akademik. Tahap ini menjadi ranah teknokratis yang terdiri dari peneliti, tenaga ahli, perancang, anggota badan legislasi (Baleg).

Ketiga, pembahasan RUU. Tahap ini masih didominasi politik elit, tapi melibatkan politik publik dan teknokratis. Keempat, pengesahan menjadi ranah politik elit yang terdiri dari DPR dan pemerintah. Kelima, pengundangan melalui lembaran negara menjadi ranah administrasi pemerintah. “Tapi kalau kita bandingkan dan analisa dalam tahapan pembentukan UU di dalam sistem hukum kita, praktik pelibatan masyarakat semakin menurun dan menyempit,” ujarnya.

Padahal, tahapan partisipasi publik telah diatur secara normatif dalam Pasal 96 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; Pasal 188 Peraturan Presiden (Perpres) No.87 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU 12/2011. Kemudian Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No.11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Pasal 234 ayat (3) UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3); dan Pasal 243 Peraturan DPR No.1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) DPR.   

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait