Sebelum membahas pasal perdagangan manusia dan ancaman pidananya, penting untuk diketahui sejarah kemunculan perdagangan manusia terlebih dahulu. Menurut Osmond (2019), perdagangan manusia di Indonesia berawal dari proses perbudakan pada masa kerajaan Jawa.
Di masa itu, perempuan dijadikan pelengkap sistem feodal. Perempuan kerap kali “dijual” oleh keluarganya untuk dijadikan persembahan (selir) kepada para raja. Adapun tujuan penjualan anggota keluarga ini adalah demi peningkatan status keluarga.
Baca juga:
- Peringati Hari Pekerja Migran Internasional 2023, Komnas HAM Terbitkan 6 Rekomendasi
- Menelisik Penerapan Perampasan Aset dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana
- Menkumham: Perdagangan Orang Terkait Penipuan Online Menjadi Masalah Besar
Setelah kerajaan musnah, di masa penjajahan, perdagangan manusia masih terjadi. Di masa ini, bentuknya adalah pekerja paksa atau pekerja rodi dan pekerja seks. Pekerja rodi dimaksudkan untuk meminimalisir pengeluaran upah. Umumnya, para pekerja dipaksa mengerjakan sebuah pekerjaan dengan bayaran yang sangat rendah atau malah tidak dibayar sama sekali.
Kemudian, di masa penjajahan, perempuan dijadikan pekerja seks untuk melayani para perwira tinggi dan pejabat-pejabat. Bahkan, sebagian perempuan juga dieksploitasi hingga ke luar negeri, mulai dari Singapura, Malaysia, hingga Hong Kong.
Farhana (dalam Osmond, 2019: 18) menerangkan bahwa setelah merdeka, pasal perdagangan manusia mulai dinyatakan sebagai tindak kejahatan yang melanggar hukum dan menyangkut wilayah dalam hingga luar negeri. Pasalnya, perdagangan manusia tidak dapat dipisahkan dari batas-batas negara.
Perdagangan Manusia Masa Kini
Di zaman modern saat ini, pasal perdagangan manusia masih terjadi dalam berbagai bentuk. Perlu dipahami, segala bentuk pemaksaan dan eksploitasi manusia masuk dalam kategori perdagangan manusia.