Pasca PP 1/2017, Pemerintah Beri IUPK Sementara untuk Freeport
Berita

Pasca PP 1/2017, Pemerintah Beri IUPK Sementara untuk Freeport

Meski status IUPK yang bersifat sementara itu belum memiliki payung hukum. pemerintah meyakini tidak ada pelanggaran dalam kesepakatan tersebut.

Oleh:
ANT/YOZ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyepakati penetapan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang bersifat sementara hingga Oktober 2017 kepada PT Freeport Indonesia.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Teguh Pamudji dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (4/4), mengatakan bahwa pemerintah dan Freeport telah melakukan perundingan intensif sejak Februari lalu saat perusahaan tambang berbasis di Amerika Serikat itu menyatakan keberatan atas perubahan status kontrak tambang.

Teguh menjelaskan ada dua hal yang dilakukan oleh Pemerintah dalam upaya penyelesaian kisruh status kontrak Freeport, yakni penyelesaian jangka pendek dan jangka panjang. Penyelesaian jangka pendek, lanjut dia, dilatarbelakangi upaya memberikan landasan hukum dan kepastian usaha bagi Freeport.

Di sisi lain, penyelesaian jangka pendek itu juga memberikan kejelasan bagi pemerintah atas hubungan kontraktual pasca Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. (Baca Juga: Meneropong Bisnis Tambang Pasca Terbit PP Minerba)

"Pada pembahasan jangka pendek, minggu lalu, kami sepakat dengan Freeport bahwa akan ditetapkan IUPK yang bersifat sementara karena punya tenggat waktu 8 bulan," katanya.

Dengan diberlakukannya IUPK yang bersifat sementara selama 8 bulan, Freeport dapat melaksanakan ekspor konsentrat dengan membayar bea keluar selama periode 8 bulan tersebut. "Berbarengan dengan dikeluarkannya IUPK itu, kami juga masih hormati ketentuan-ketentuan dalam kontrak karya (KK)," katanya.

Teguh yang juga Ketua Tim Perundingan Pemerintah dan Freeport menuturkan bahwa mulai pekan depan akan ada perundingan kedua untuk penyelesaian jangka panjang selama 8 bulan mulai 10 Februari hingga 10 Oktober 2017. (Baca Juga: Mencermati Posisi Freeport dari UU Minerba, Kontrak Karya, serta MoU)

Dalam pembahasan jangka panjang sejumlah poin yang dibahas, antara lain, ketentuan terkait dengan stabilitas investasi, keberlangsungan operasi Freeport, divestasi, serta pembangunan smelter (fasilitas pemurnian dan pengolahan mineral).

Lebih lanjut, Teguh memaparkan jika setelah perundingan jangka panjang tidak ada kesepakatan antara pemerintah dan Freeport, maka Freeport akan kembali pada status KK yang berakhir 2021. "Kalau dia tidak terima hasil perundingan, atau katakanlah perundingan tidak mencapai kesepakatan, dia (Freeport) bisa kembali ke KK, tetapi tidak boleh ekspor," tegasnya. (Baca Juga: Holding BUMN Pertambangan ‘Modal’ Ambil Alih Divestasi Freeport)

Tim perunding sendiri terdiri atas Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri serta pemerintah daerah di Papua.

Status IUPK yang bersifat sementara itu diakui Teguh memang belum memiliki payung hukum. Namun, ia meyakini tidak ada pelanggaran dalam kesepakatan tersebut. Terlebih kesepakatan tersebut diambil dengan tetap mempertimbangkan kedaulatan negara.

"UU memberi ruang pada pemerintah dan badan usaha untuk mencari solusi terbaik. Setelah berunding, keduanya sepakat. Tentu dengan tetap mempertimbangkan kedaulatan negara. Untuk regulasi yang memayungi, kami akan mengakomodasikan untuk melandasi hal itu," katanya.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa perundingan kedua akan membahas lebih perinci mengenai stabilitas investasi sehingga Freeport bisa mendapatkan fasilitas pendukung operasional. "Lalu, juga akan bicara soal perpanjangan operasi. Berdasarkan peraturan pemerintah itu sampai 2 x 10 tahun, yaitu 2021 s.d. 2031 tahap pertama dan selanjutnya 2031 s.d. 2041 tahap kedua," katanya.

Selanjutnya, yakni mengenai divestasi saham 51 persen yang secara logika juga akan dibahas mengenai perpanjangan kontrak. "Kalau divestasi 51 persen 'kan tinggal 4 tahun lagi sampai 2021. Itu logikanya," katanya.

Bambang menambahkan bahwa pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota di Papua juga akan dilibatkan dalam perundingan jangka panjang. Bambang juga mengatakan bahwa rekomendasi ekspor memang diberikan untuk periode per tahun. Namun, ia mengatakan pengawasan tetap dilakukan setiap enam bulan.

Tags:

Berita Terkait