Pasca Putusan MK, Pengaturan Jaminan Fidusia Perlu Ditata Ulang
Utama

Pasca Putusan MK, Pengaturan Jaminan Fidusia Perlu Ditata Ulang

Antara debitur dan kreditur dapat memasukan klausul yang berisi pengaturan yang mengatur tentang bagaimana mekanisme agar debitur dapat dinyatakan cedera janji.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Pasca Putusan MK, Pengaturan Jaminan Fidusia Perlu Ditata Ulang
Hukumonline

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019, menyatakan keberlakuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Hal ini sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap".

 

Tidah hanya itu, terhadap frasa “cidera janji” sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia, Mahkamah juga menyatakan frasa “cidera janji” tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.

 

Pengacara yang juga merupakan kuasa hukum pemohon, Veri Junaidi, dari Kantor Hukum Veri Junaidi and Associate kepada hukumonline mengatakan problem yang selama ini sering terjadi adalah praktik pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Fidusia kerap menimbulkan ketidak pastian hukum. Khusus untuk penerapan pasal 15 ayat (2) dan (3) pada UU Jaminan Fidusia juga sering mengabaikan perlindungan keadilan bagi Debitur.

 

“Karena tidak ada posisi yang seimbang antara debitur dan kreditur,” ujar Veri kepada hukumonline, Selasa (7/1).

 

Terkait hal ini, menurut Veri, sudah seharusnya UU Jaminan Fidusia dan konsepnya dilakukan permbaharuan. Hal ini bertujuan agar meletakan posisi yang seimbang antara debitur dan kreditur. Tidak hanya memperhatikan kepentingan dan memberikan perlindungan kepada kreditur, tapi juga menempatkan debitur pada posisi yang setara.

 

Veri menilai penentu kebijakan ke depan mesti melakukan penataan dengan segera untuk memberikan kepastian terhadap dunia usaha dengan membawa konsep baru menyusul terbitnya putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019. Veri tidak menutup mata bahwa dengan terbitnya putusan ini, dunia usaha akan menemukan hambatan berarti mengingat proses untuk mengeksekusi dan menjual benda yang merupakan Jaminan Fidusia, tidak semudah sebelum keluarnya putusan MK.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait