Pasca-Putusan MK Soal UU Ciptaker: Uji Formil Jadi Cara Kontrol Pembuatan UU
Utama

Pasca-Putusan MK Soal UU Ciptaker: Uji Formil Jadi Cara Kontrol Pembuatan UU

Putusan MK terkait uji formil UU Cipta Kerja harus jadi perhatian semua pihak.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit

Apabila UU MA yang cacat prosedural tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka akan mengakibatkan keadaan yang tidak lebih baik karena dalam UU MA justru terdapat substansi pengaturan yang isinya lebih baik dari undang-undang yang diubah. Dengan pertimbangan yang didasarkan asas kemanfaatan demi tercapainya tujuan hukum, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa UU MA tidak perlu dinyatakan sebagai undang-undang yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan UU MA tetap berlaku.

Salah satu ciri penting sebuah negara hukum adalah adanya asas legalitas guna menciptakan kepastian hukum dan memberikan perlindungan yang sebesar-besarnya kepada warga negara terhadap kemungkinan sikap atau tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara. Dalam konteks ini, Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009 gagal memberikan jaminan kepastian hukum tersebut karena telah mengambil suatu keputusan hukum yang antara temuan fakta yang terungkap selama dalam proses persidangan pengujian formil UU MA, dengan amar putusan atas perkara dimaksud saling bertolak belakang atau kontradiktif.

Selain tidak ada kepastian hukum, Putusan MK No. 27/PUUVII/2009 ini rentan dianggap akan menjadi gambaran buruk bagi pencari keadilan dalam proses pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi ke depan, karena sifat putusannya yang tidak bisa diukur oleh publik (terutama pemohon) secara objektif menurut peraturan perundang-undangan yang ada. Penggunaan asas kemanfaatan oleh Mahkamah Konstitusi dapat menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam pengujian undang-undang.

Sementara itu, pelanggaran prosedur yang terus dilakukan DPR dan Presiden merupakan bentuk praktik pengabaian terhadap hukum. Hukum acara Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi panduan tidak bisa lagi menjadi pedoman yang memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, karena sewaktu-waktu dapat disimpangi dan diabaikan dengan alasan keadilan dan kemanfaatan yang sebenarnya sangat rentan menjadi perdebatan.

Berdasarkan penjabaran di atas, ada tiga perbaikan yang harus dilakukan dalam pengujian formil undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi. Pertama, membuka peluang dilakukannya pembalikan beban pembuktian dalam persidangan perkara pengujian formil undang-undang di MK. Hal itu mengingat akses terhadap dokumen alat bukti serta beban pembuktian yang diterapkan saat ini tidak seimbang antara pemohon dan pembentuk undang-undang menjadi salah satu hambatan dalam pengujian formil.

Kedua, memperluas penggunaan batu uji dalam pengujian formil agar tidak hanya terbatas pada pasal-pasal dalam UUD 1945, undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dan peraturan tata tertib lembaga pembentuk undang-undang, tetapi mencakup juga nilai-nilai konstitusional yang terkandung di dalam konstitusi. Ketiga, memperluas definisi dan ruang lingkup pengujian formil undang-undang agar segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan pembentukan undang-undang dapat dinilai melalui pengujian formil.

Tags:

Berita Terkait