Pedang Bermata Dua
Tajuk

Pedang Bermata Dua

Pemerintahan baru di bawah Jokowi membutuhkan dukungan lebih besar dari seluruh pemangku kepentingan yang menginginkan negara ini besar, bersih, dan sejahtera.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Pedang Bermata Dua
Hukumonline
Hukum bisa jadi pedang bermata dua. Frasa yang  berakar mula dari peradaban Arab tersebut mengharuskan kita untuk selalu sadar bahwa biasanya, di tangan penguasa yang ingin kepastian hukum  dan keadilan ditegakkan sebagai pilar masyarakat demokratis, hukum bisa efektif sebagai panduan dan pilar pengawasan sekaligus penegakan tata tertib bermasyarakat.

Tetapi, di tangan penguasa totaliter yang gelap mata dan kacau hati, hukum dan penegakan hukum bisa digunakan sebagai senjata pembunuh sistem integritas nasional, dan membinasakan lawan politik tanpa pilih bulu. Penguasa Draconian memegang dan menebaskan pedang untuk melakukan pembenaran atas apapun yang menjadi kehendak dan kepentingan kelompoknya. Di masing-masing kondisi tersebut, hanya satu sisi pedang yang digunakan, jarang pedang hukum berfungsi sekaligus di dua sisi.

Tetapi ada satu gejala yang mungkin sering dilupakan oleh masyarakat yang berada dalam masa transisi ke arah masyarakat terbuka. Pedang hukum tersebut bisa mudah berpindah tangan dan diakses bebas oleh semua lapisan sosial dalam masyarakat (melalui sistem peradilan), karena memang itulah yang seharusnya terjadi. Dalam kondisi ini sering kali frasa di atas berlaku, kedua sisi yang tajam dari pedang hukum bisa efektif berfungsi. Di satu sisi berfungsi sesuai dengan apa yang dicitakan pembuat konstitusi, yaitu menjadi alat untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan, tetapi ternyata ada sisi lain yang bisa menyasar siapapun, kemanapun arah pedang ditebaskan.

Kita tidak sekadar bicara tentang collateral damage, atau ekses pembangunan, tetapi kita juga bicara tentang akibat penegakan hukum yang merusak fondasi sistem integritas nasional, yang menjadi preseden dan praktik buruk bagi pemerintahan yang baik, sekaligus menyebar ketakutan kepada pembuat kebijakan, karena mereka sadar pedang hukum bisa menyasar salah ke mereka yang beriktikad baik dan berusaha menjadi alat pemerintahan yang baik sekalipun. Dalam masa transisi tersebut, boleh jadi stagnasi dimana-mana terjadi, pemerintahan melemah dan kehidupan masyarakat jadi serba kacau karena rasa curiga meninggi, dan semangat toleransi ditinggalkan.   

Pedang hukum, kini tidak hanya bisa dimiliki oleh pemerintah sebagai pemegang mandat kehendak rakyat melalui pemilu, tetapi juga oleh mereka yang punya akses kekuasaan, uang, jaringan dan pengaruh di masyarakat. Parlemen jauh lebih merdeka dan efektif untuk melakukan sejumlah fungsi konstitusinya, suatu hal yang baik, tetapi juga dalam banyak kasus bisa sangat membelenggu berjalannya pemerintahan, dunia usaha, atau kegiatan masyarakat.

Demikian juga, hakim kini bisa bebas membentuk hukum, menafisrkan ulang hukum, dan mengadili perkara-perkara yang dahulu tidak berani disentuh oleh hakim-hakim berani sekalipun. Dalam artian yang lebih positif, masyarakat sipil termasuk lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan, sosial, budaya, kedaerahan dan lain-lain bisa menggunakan pedang hukum untuk menuntut hak-hak masyarakat dalam gugatan-gugatan “class action”, atau meneruskan kasus-kasus hukum ke pengawas dan penegak hukum atas dasar kecurigaan adanya kecurangan atau penyelewengan fungsi-fungsi publik.

Pedang hukum, tidak hanya bisa digunakan oleh penguasa untuk melecehkan, membekukan, membubarkan kegiatan atau organisasi politik, sosial atau keagamaan yang dianggap menyalahi “main stream” atau nyeleneh dari apa yang dianggap sebagai suatu yang norma yang baku dalam masyarakat. Pedang hukum juga tidak hanya bisa digunakan penguasa untuk menekan usaha daerah untuk mendapatkan kesejahteraan dengan mengatakan hal tersebut sebagai suatu gerakan separatis.

Pedang hukum selanjutnya juga tidak hanya bisa digunakan penguasa untuk menyatakan bahwa suatu ideologi tidak sesuai dengan moral atau ideologi negara atau untuk membungkam gerakan masyarakat sipil yang menuntut demokrasi, hak-hak sipil dan distribusi kemakmuran yang lebih luas, adil dan transparan. Pedang hukum juga tidak hanya efektif digunakan penguasa untuk melindungi kepentingan bisnis yang korup dan merongrong ekonomi negara.

Pedang hukum, dengan maksud yang sama bisa diakses penuh oleh perorangan, organisasi kemasyarakatan atau keagamaan, organisasi kedaerahan, dan kepentingan bisnis dan politik tertentu, karena akses hukum yang meluas tersebut. Hari-hari ini kita melihat hukum digunakan untuk menghambat lawan politik, menghukum kebijakan publik, dan bahkan mementahkan proses pilkada, pemilu dan pilpres yang sudah berlangsung hampir sempurna menurut standar sistem demokrasi dimanapun.

Untuk menggerakkan hal-hal tersebut, jangan hanya membayangkan bahwa hal tersebut didukung oleh pendapat mayoritas masyarakat. Sekelompok kecil masyarakat dengan atribut kedaerahan, agama atau organisasi sosial atau politik, dimungkinkan untuk melakukan hal tersebut, dan celakanya, alat-alat hukum dalam banyak kasus melayani, bukan mencegah atau menyaring secara teliti.   

Kalau begitu, apa yang salah dan bagaimana kita menyikapi gejala yang bisa mengurangi efektivitas demokrasi, fungsi hukum yang berkeadilan, dan laju pembangunan di segala bidang ini? Persoalan dilematis ini sendiri juga banyak sisinya, dan rasanya tidak akan pernah ada jalan keluar yang bisa memuaskan semua unsur bangsa. Kembali ke zaman otoritarian sudah tentu bukan jawaban. Dan mengurangi akses masyarakat ke penggunaan hukum untuk melindungi hak-hak mereka pasti juga akan mengkhianati perjuangan kita untuk membuka akses hukum dan keadilan bagi semua.

Reformasi yang belum selesai menyisakan kita sejumlah agenda bidang hukum. Ketika lembaga demokrasi tidak bisa dijadikan sarana pihak yang korup atau kalah berdemokrasi, maka hukum akan dengan segala cara bisa dibengkokkan, dan lembaga dan sistem peradilan bisa disesatkan.

Kita bisa mengambil contoh-contoh sederhana dari kasus-kasus ringan di desa-desa dimana orang-orang lapar di bawah garis kemiskinan dipidana karena tindak pidana ringan mengambil hasil tanaman tetangga. Kita bisa meningkat ke kasus-kasus “pencemaran nama baik” melalui media internet dan sosial yang dipidanakan. Kita bisa terus meningkat ke kasus-kasus perdata dan kebijakan pengelolaan perusahaan BUMN yang dipidana (Indosat, Merpati, Chevron dan lain-lain).

Yang saya anggap sangat merusak sistem integritas nasional adalah dua contoh kasus kasat mata, yang juga merupakan kegagalan terbesar pemerintahan SBY dibidang hukum, yaitu: (a)  kasus cicak-buaya atau Bibit-Chandra, dimana dengan mudah dan dengan pembiaran luar biasa KPK diobrak-abrik, dan dua komisionernya dikriminalisasi, (b) kasus BLBI dan “bail out” Bank Century, dimana kebijakan penyelamatan ekonomi melalui pencegahan krisis perbankan dalam kondisi krisis ekonomi dunia juga dikriminalisasi (untuk lebih lengkapnya, lihat “amicus century” di situs www.katadata.com).

Penyelesaian kasus-kasus tersebut mempunyai dampak negatif luar biasa bagi sistem pemerintahan, kepemimpinan lembaga negara, dan pengelolaan “good governance”, pemberantasan korupsi, dan pengelolaan perekonomian, khususnya perbankan.

Pemerintahan baru di bawah Jokowi membutuhkan dukungan lebih besar dari seluruh pemangku kepentingan yang menginginkan negara ini besar, bersih, dan sejahtera, di tengah proses untuk terus bertransisi dimana demokratisasi, penghargaan HAM, dan penegakan pilar-pilar sistem integritas nasional harus terus berjalan tanpa gangguan. Tugas yang luar biasa sulit, yang hanya bisa berhasil kalau kita bisa lebih memahami sistem integritas nasional, prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi, serta alasan-alasan dasar kenapa bapak-bapak kita membangun negara ini.

ats, September 2014
Tags: