Pekerja Minta Kepersertaan Wajib Jamsos Dibatalkan
Berita

Pekerja Minta Kepersertaan Wajib Jamsos Dibatalkan

Kalau ini dikabulkan, imbasnya pada perusahaan yang tidak sanggup memberi layanan jaminan sosial terbaik.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pekerja Minta Kepersertaan Wajib Jamsos  Dibatalkan
Hukumonline
Seorang karyawan PT Bukit Muria Jaya bernama Agus mempersoalkan prinsip kepesertaan wajib jamsos lewat uji materi Pasal 4 huruf g UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Agus menilai sistem jaminan sosial (jamsos) pada BPJS tidak lebih baik dibandingkan dengan lembaga jaminan sosial  lainnya.

Agus mengatakan kepersertaan bersifat wajib telah merugikan hak konstitusionalnya selaku pemohon dan anggota keluarganya. “Untuk mendapatkan jaminan layanan kesehatan yang lebih baik dibandingkan jaminan kesehatan yang diselenggarakan BPJS,” ujar Agus dalam sidang pendahuluan yang diketuai I Dewa Gede Palguna di ruang sidang MK Jakarta, Kamis (08/10).

Pasal 4 huruf g UU BPJS menyebutkan, BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip: g. kepesertaan bersifat wajib.

Agus mengungkapkan di PT Bukit Muria Jaya, tempat dimana pemohon bekerja sejak 1991 hingga saat ini telah mendapatkan jaminan kesehatan pada lembaga jamsos berkelas internasional. Selama ini jaminan kesehatan yang diterima pemohon dan keluarganya ditanggung 100 persen oleh perusahaan. “Pelayanan kesehatan yang diberikan BPJS tidak sebaik pelayanan kesehatan yang telah diterima sebelumnya,” ujarnya membandingkan.

Dengan adanya kepesertaan wajib pada BPJS ini, kata dia, perusahaan pemohon harus mengubah kebijakan jaminan kesehatannya dengan menyesuaikan dengan UU BPJS. Perusahaannya membagi dua anggaran jaminan kesehatan menjadi BPJS dan asuransi yang ditunjuk perusahaan. Alhasil, standar jamsos berupa asuransi kesehatan yang semula baik, kini kualitasnya menjadi turun karena perusahaan harus membagi anggaran untuk BPJS.

“BPJS tidak seharusnya memaksakan setiap warga negara menjadi peserta jamsos, sehingga pemberi kerja (perusahaan) dan pekerjanya bebas memilih perlindungan pada lembaga jamsos lain,” usulnya.

Pemohon merasa BPJS memiliki pelayanan yang berada di bawah standar dibandingkan dengan pelayanan asuransi kesehatan perusahaannya itu. Seperti, dimanapun ia mengalami kecelakaan atau sakit, asuransi bisa melayaninya. Berbeda dengan BPJS, pelayanan pengobatan harus dilakukan di daerah domisilinya. Persoalannya, ketika pemohon sakit dan berada di luar domisili, maka layanan BPJS lebih sulit digunakan.

“Apalagi obat dari asuransi perusahaan lebih baik dari BPJS. Seandainya BPJS sudah memperbaiki kualitas pelayanannya, maka ia tak masalah kepesertaan BPJS bersifat wajib,” kata dia.

Selain itu, secara materil dirinya merasa dirugikan karena BPJS telah membebankan iuran wajib yang ditanggung 1 persen oleh pekerja dan 3 persen oleh perusahaan. Karena itu, dirinya meminta agar prinsip kepesertaan wajib jamsos pada BPJS dihapus saja. “Kita minta frasa ‘kepesertaan bersifat wajib’ dalam Pasal 4 huruf g UU BPJS dinyatakan bertentangan dengan konstitusi,” harapnya.  

Menanggapi permohonan, anggota Majelis Panel, Aswanto, mengingatkan permohonan pemohon kurang menguraikan adanya pertentangan norma yang diuji dengan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945. Pemohon masih lebih banyak menguraikan hal yang secara faktual dialaminya. Aswanto memberi nasehat. “Seharusnya kerugian konstitusional yang Saudara tonjolkan. Mahkamah tidak akan melihat kerugian faktual dari kasus empirik yang dialami pemohon”.

Anggota Majelis Panel lainnya, Suhartoyo mengatakan semangat pasal yang digugat sebenarnya ingin memperhatikan kesehatan rakyat pada umumnya. Perusahaan pemohon mungkin saja bisa menjamin kualitas asuransi kesehatan pekerjanya lebih baik. Namun, perusahaan lain belum tentu bisa melakukan hal serupa.

“Kalau frasa itu dihilangkan bagaimana dengan perusahaan yang tidak secara penuh menjamin asuransi kesehatan pekerjanya? Makanya, kata ‘wajib’ ini secara universal tidak salah. Renungkan kembali apakah Anda sudah berpikir untuk hapuskan ini. Takutnya, pekerja lain tidak terlindungi karena tidak ada kewajiban dari negara. Kata ‘wajib’ memang ada dua sisi yaitu ‘memaksa’ dan ‘melindungi’,” ujar Suhartoyo mengingatkan.
Tags: