Pelajaran dari Skandal Gratifikasi Hakim Agung AS Clarence Thomas
Utama

Pelajaran dari Skandal Gratifikasi Hakim Agung AS Clarence Thomas

Dunia akademik harus aktif ikut mengawasi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi di puncak kekuasaan kehakiman Indonesia.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Hakim Agung AS Clarence Thomas. Foto: The Supreme Court of the United States, 2007.
Hakim Agung AS Clarence Thomas. Foto: The Supreme Court of the United States, 2007.

Masa jabatan hakim agung yang otomatis seumur hidup tidak menjamin lebih aman dari jerat korupsi politik. Hal itu menjadi pelajaran penting dari skandal gratifikasi Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, Clarence Thomas yang terungkap dua bulan lalu. Thomas awalnya dilaporkan untuk fasilitas perjalanan mewah dari pengusaha pendonor Partai Republik.

Gratifikasi itu ia dapat selama dua dekade sejak menjadi hakim agung. Laporan investigasi media massa ProPublica terus berkembang pada gratifikasi lainnya berupa penerimaan pembayaran biaya sekolah untuk cucunya dan transaksi jual beli mencurigakan dari pengusaha yang sama.

“Formula masa jabatan seumur hidup atau punya batas waktu tertentu tidak ada yang pasti bisa menghindarkan hakim dari perilaku koruptif,” kata Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Muhammad Tanziel ‘Azhe’ Aziezi kepada Hukumonline. Azhe menilai integritas hakim agung atau hakim konstitusi di puncak peradilan tidak bisa dikontrol dengan sistem masa jabatan.

Baca Juga:

“Pelajaran dari Clarence Thomas adalah menyaring ketat sejak awal calon hakim agung. Periksa laporan harta kekayaannya dan integritasnya,” ujar Azhe mengusulkan. Perlu dicatat Thomas mulai menjabat pada tahun 1991 pada usia 43 tahun hingga kini. Pada saat itu Thomas sudah diisukan punya skandal soal pelecehan seksual. Toh, ia tetap lolos uji kepatutan oleh parlemen Amerika Serikat dan menjabat hakim agung.

Pendapat yang sama diungkapkan Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial, Binziad ‘Dafi’ Kadafi. Ia mengatakan “Pengaturan soal masa jabatan itu berpengaruh besar untuk menghindari intervensi hakim, tapi itu bukan satu-satunya faktor masalahnya”. Dafi menilai apa yang dialami Clarence Thomas tidak lepas dari adanya kesempatan. Pengawasan di antara sesama hakim sendiri sangat dibutuhkan.

Baik Azhe maupun Dafi sepakat bahwa pola pembatasan masa jabatan hakim agung dan hakim konstitusi di Indonesia saat ini masih bisa diandalkan. Catatan penting justru diarahkan pada seleksi sosok yang akan mengisi jabatan penting tersebut. Selain itu, pengawalan (pengawasan) harus dilakukan oleh pihak publik. Azhe menilai dunia akademik yang paling tepat ikut menjaga kualitas dan integritas hakim agung dan hakim konstitusi.

Tags:

Berita Terkait