Pelaku Usaha Temukan Sejumlah Kendala Saat Mengurus Izin di OSS Berbasis Risiko
Terbaru

Pelaku Usaha Temukan Sejumlah Kendala Saat Mengurus Izin di OSS Berbasis Risiko

Pemerintah diminta segera menyelesaikan sejumlah masalah dalam proses perizinan di OSS Berbasis Risiko.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Pelaku usaha mengaku menemukan sejumlah kendala dalam proses mengurus perizinan lewat Online Single Submission (OSS) Berbasis Risiko. Aplikasi ini resmi diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada Senin, (9/8) lalu, di kantor Kementerian Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Konsultan Easybiz Febriana Artinelli mengungkapkan bahwa kendala yang ditemukan dalam OSS Berbasis Risiko cukup beragam. Pertama, terkait Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Menurutnya, sebanyak 353 KBLI belum memiliki pengampu, bahkan ada satu KBLI yang memiliki dua pengampu.

Sebenarnya BKPM telah mengatur pengampu untuk 353 KBLI di OSS Berbasis Risiko, seagaimana tercantum dalam SE Kepala BKPM No.18 Tahun 2021 tetang Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Investasi/Kepala BKPM No.17 Tahun 2021 tentang Peralihan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Menjadi Penyelenggaraan Perizinan Berbasis Risiko Melalui Sistem OSS. Namun saat mengurus perizinan melalui OSS Berbasis Risiko, salah satu KBLI yang yang terdapat dalam SE 18/2021 belum bisa diproses.

“Memang belum dicoba semua (KBLI), tapi salah satu dari 353 KBLI itu saat diproses belum bisa keluar NIB-nya, belum ada pengampunya. Ini jadi hambatan untuk pelaku usaha karna mereka butuh cepat NIB tersebut tapi ternyata di OSS belum bisa diproses, sudah coba telepon ke OSS tapi katanya memang belum ada dan paling lambat baru tersedia itu 31 Agustus,” kata Febriana. (Baca: Pemerintah Minta Pemda Selesaikan RDTR untuk Kepentingan OSS)

Kedua, persoalan modal. Apakah modal usaha dalam OSS sama dengan modal usaha yang diatur dalam UU PT, apakah modal usaha sama dengan modal dasar, dan bagaimana dengan modal yang ditempatkan dan disetorkan. Kekhawatirannya ada perbedaan pemahaman antara UU PT. Selain itu terdapat perbedaan besaran modal dasar antara OSS Berbasis Risiko dan PP No.8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan Serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil.

Ketiga, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Dalam rezim OSS Berbasis Risiko, RDTR merupakan syarat wajib untuk proses perizinan. Hal tersebut jelas diatur dalam PP No.21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Setiap kepala daerah wajib mengintegrasikan RDTR ke dalam sistem OSS Berbasis Risiko dalam bentuk digital.

Pasal 53 PP 21/2021 menyatakan, Menteri dan kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal wajib mengintegrasikan RDTR KPN dalam bentuk digital ke dalam sistem OSS.

Sedangkan Pasal 103 menyatakan, Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha dilaksanakan melalur OSS dengan tahapan: a. pendaftaran; b. penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang terhadap RDTR; dan c. penerbitan Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.

Febri mengatakan sejauh ini sistem RDTR belum terintegrasi dengan OSS Berbasis Risiko. RDTR yang tersedia masih sangat terbatas dan belum lengkap. Selain itu adanya syarat RDTR dalam proses perizinan di OSS Berbasis Risiko dinilai dapat memberikan dampak terhadap sektor UMKM yang selama ini banyak menjalankan usaha dari rumah.

“RDTR itu ada tapi belum teintegrasi dengan OSS. Pemda seperti setengah hati, mungkin mereka takut ada dampak ke daerah mereka, tapi kalau tidak ada RDTR maka pelaksanaan OSS Berbasis Risiko tidak akan maksimal. Untuk RDTR ini juga memberatkan UMK, dulu di DKI Jakarta untuk UMK bisa melakukan usaha dari rumah. Tapi saat ini karena ada aturan tata ruang dan pernyataan output OSS UMK harus sesuai tata ruang sehingga pebisnis UMK protes kenapa UMK harus sesuai dengan zonasi tata ruang,” jelas Febri.

Dan keempat adalah penentuan risiko. Dalam OSS Berbasis Risiko, proses izin usaha ditentukan berdasarkan risiko. Semakin tinggi risiko maka semakin kompleks proses perizinan. Namun persoalannya banyak penentuan risiko yang dianggap tidak sesuai dengan jenis usaha.

“Dari segi kebijakan memang jumlah pasalnya ratusan halaman, sehingga menterjemahkannya bingung. Apa yang diamanatkan di PP turunan belum lengkap, contoh salah satu KBLI berbasis RBA sekarang ditimbang sebuah kegiatan usaha risiko apa sehingga menimbulkan efeknya apa. Nah untuk usaha fotografi itu masuk risiko menengah tinggi, mungkin memang ada peralatan yang merugikan, dan juga bidang usaha penerjemah juga masuk ke risiko menengah tinggi. Secara logika tidak ada yang aneh, dampak lingkungannya seperti sampah, tapi masuk ke risiko tinggi, KBLI tidak jelas sehingga izinnya jadi tidak jelas,” ungkap konsultan Easybiz, Andrey.

Sementara itu, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantono, menyatakan bahwa pelaku usaha menemukan kendala saat mengurus perizinan melalui OSS Berbasis Risiko. Salah satunya adalah untuk bidang usaha pengelolaan air yang saat ini harus diurus melalui OSS. Surat Izin Pengelolaan Air (SIPA) yang wajib diurus oleh pelaku usaha tidak ditemukan dalam OSS.

“Kenyataannya tidak seindah itu. Contoh mengurs SIPA di Pemda, tetapi wajib ke OSS dulu. Ketika di OSS belum ada aplikasinya, seingga macet pengurusan izin itu,” kata Iwantono kepada Hukumonline, Selasa (31/8).

Iwantono juga mengeluhkan aturan untuk UMKM. Pasalnya, dengan OSS Berbasis Risiko usaha UMKM yang sudah berdiri dalam bentuk badan hukum CV, UD dan sejenisnya harus melakukan perubahan akte. Dengan skala usaha mikro dan kecil, mengurus perubahan akta ke notaris disertai sejumlah biaya dinilai cukup memberatkan.

“Untuk usaha yang sebelum tahun 2018 usaha kecil bentuk CV UD sepeti itu, itu khan dulu disahkannya di pengadilan. Nah sekarang itu diwajibkan untuk punya no pengesahan di AHU. Kalau sepetrti itu harus melakukan perubahan akte supaya sesuai dengan KBLI, dan mengurus akta itu ke notaris biayanya Rp5-7 juta. Enggak mampu usaha kecil melakukan itu,” imbuhnya.

Atas dasar itu, Iwantono meminta pemerintah untuk memperhatikan kendala-kendala dalam penerapan OSS. Iwantono juga mengaku telah menyampaikan keluhan tersebut secara pribadi kepada pemerintah, namun belum ada respon dari pemerintah hingga saat ini.

“Sekarang mau mengganti email saja susah akibat dari itu, jadi OSS itu masih banyak mengandung masalah, ini yang harus diperhatikan. Secara pribadi sudah saya sampaikan keluhan itu tapi belum ada respons, kasian UMKM. Kasih kemudahan untuk UMKM, jangan seperti ini. Ini harus segera diperbaiki kalau tidak segera akan banyak UKM yang tidak menjalankan bisnis dan berusaha,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait