Pelaporan Pidana Luhut ke Haris-Fatia Ciri Negara Otoriter
Utama

Pelaporan Pidana Luhut ke Haris-Fatia Ciri Negara Otoriter

Kritik masyarakat sebagai bentuk kontrol terhadap pejabat publik dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari konflik kepentingan bisnis pertambangan di Blok Wabu Papua. Padahal Kemenko Marves mudah saja membuka data perusahaan mana saja yang berinvestasi di Blok Wabu, termasuk perusahaan negara maupun swasta.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Luhut Binsar Panjaitan dan Haris Azhar. Foto Kolase: RES
Luhut Binsar Panjaitan dan Haris Azhar. Foto Kolase: RES

Ketidakpuasan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan (LBP) terhadap jawaban somasi Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti tetap berujung pelaporan pidana ke Polda Metro Jaya dan gugatan perdata. Laporan pidana Luhut ini tercatat bernomor STTLP/B/4702/IX/2021/SPKT/Polda Metro Jaya tertanggal 22 September 2021. Langkah hukum yang ditempuh LBP dianggap banyak kalangan sebagai bentuk pejabat publik yang arogan dan antikritik.

Penasihat Hukum Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, Asfinawati menilai langkah pelaporan pidana LBP ke Polda Metro Jaya memiliki dua dimensi. Pertama, siapa pihak yang melaporkan. Kedua, siapa pihak yang dilaporkan. Pihak yang melaporkan kliennya merupakan pejabat publik. Oleh karenanya, LBP terikat dari etika pejabat publik dan kewajiban hukum.

“Pejabat publik penting dikritik rakyat. Begitu tidak dikritik dari rakyat, maka tidak ada demokrasi,” ujar Asfinawati saat konferensi pers bersama koalisi masyarakat sipil bertajuk Runtuhnya Demokrasi di Tengah Somasi dan Kriminalisasisecara virtual, Rabu (22/9/2021). (Baca Juga: Kritik Publik Berujung Somasi Berisiko Hambat Demokrasi)

Dia mengakui LBP memang memiliki hak melaporkan seseorang secara hukum atas dugaan tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana didalilkan. Tapi, Fatia dan Haris Azhar mengkritik tidak sebagai kapasitas individu LBP, tapi kaitannya sebagai pejabat publik. Juru bicara Kemenko Marves pun tak dapat membedakan kapasitasnya sebagai juru bicara kementerian atau individu LBP?

Fatia atau Haris mengkritik di ruang publik terhadap pejabat publik. Karenanya, kritik yang disampaikan tak dapat diindividualisasi karena konstitusi mengatur adanya hak setiap orang untuk turut serta dalam urusan pemerintahan. Sementara dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP mengatur kritik untuk kepentingan umum bukan masuk kategori pencemaran nama baik.

“Harusnya kita berterima kasih dengan Haris dann Fatia mewakili kepentingan publik dengan mengawasi pemerintahan. Kalau ini terbalik, aparat mengawasi rakyat yang mengkritik dan mengkriminalisasi rakyat, itu ciri-ciri negara otoriter,” kata dia.

Penasihat Hukum Haris Azhar, Nur Kholis Hidayat menyesalkan langkah LBP. Tindakan LBP malah menunjukan betapa arogannya sosok LBP. Padahal, Haris telah menjawab dua kali somasi yang dilayangkan LBP. Dalam jawabannya, Haris meminta data sekaligus adu data soal dugaan adanya konflik kepentingan pertambangan di Blok Wabu Papua.

Malahan Haris pernah mengundang pertemuan pada 4 September lalu untuk berdiskusi. Namun LBP tak menunjukan batang hidungnya alias menolak hadir. Nur Kholis menilai tak ada iktikad baik LBP dalam menyelesaikan persoalan melalui jalur dialog dengan adu data. Menurutnya, kliennya bakal ksatria meminta maaf sepanjang adanya kesalahan data yang menjadi tudingan LBP sebagai fitnah.

“Tapi kalau tidak salah, kami akan mempertahankan haknya dan kebenaran, apapun risikonya, termasuk gugatan hukum ini,” kata Nur Kholis Hidayat.

Menurutnya, tudingan pencemaran nama baik yang menjadi dalil LBP dan kuasa hukumnya dengan melaporkan ke Polda Metro Jaya merupakan bentuk kritik Haris dan Fatia sebagai bagian kontrol demi kepentingan publik terkait adanya dugaan konflik kepentingan LBP sebagai pejabat publik. Apalagi kritikan Haris dan Fatia berdasarkan kajian dan riset dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait ekonomi politik penempatan militer di Papua.

Ironisnya, data yang dijadikan dasar mengkritik Haris dan Fatia belum pula dibantah dengan data oleh LBP. Setidaknya, mengoreksi atau melengkapi bila terdapat kekurangan informasi data. “Penggunaan upaya hukum pidana dan perdata terhadap kritik masyarakat menjadi judicial harassment atau pelecehan terhadap yudisial,” lanjutnya.

Di lain sisi, kasus ini menjadi jalan membuka jejak LBP melalui data secara luas, sehingga masyarakat dapat mengetahui secara gamblang kiprah LBP dalam bisnis pertambangan di Papua. “Jadi kita buka saja, sehinggga publik akan melihat sesungguhnya sosok LBP bagaimana jejaknya dalam konflik kepentingan pertambangan yang berdampak pada masyarakat Papua,” katanya.

Tidak melanjutkan penyidikan

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan pelaporan LBP terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulida menunjukan pejabat pemerintah yang antikritik. Tindakan ini bertolak belakang dengan ucapan yang berulang kali disampaikan Presiden Joko Widodo dan pejabat lainnya tentang komitmen mereka atas kebebasan berpendapat.

“Jika laporan ini diteruskan hingga berujung pemidanaan hanya akan semakin menambah penuh rutan atau lapas. Padahal, pemerintah sendiri berjanji untuk mengurangi penghuni rutan dan lapas,” kata Usman Hamid.

Bila terdapat ketidakakuratan data, pejabat negara dapat mengoreksinya dengan data kementerian yang dipimpinnya. Padahal, tak sulit bagi Kemenko Marves membuka data tentang perusahaan mana saja yang berinvestasi di Blok Wabu Papua. Termasuk perusahaan negara maupun swasta. “Dari situ, masyarakat bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dengan kekuasaan yang dia miliki, LBP tidak seharusnya mengancam aktivis seperti Haris dan Fatia dengan ancamana pidana.”

Menurutnya, langkah LBP malah memperburuk citra pemerintah dan mengurangi peran partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Berbagai survei belakangan, termasuk survei Indikator Politik Indonesia pada Oktober 2020 menunjukkan mayoritas masyarakat, sebanyak 79.6% responden, semakin takut menyatakan pendapat. Nah, pelaporan LBP menjadi bagian meningkatkan ketakutan tersebut. Sehingga publik pun enggan memberikan masukan kepada pemerintah, apalagi mengungkapkan kritik terhadap pihak berkuasa.

“Kami mendesak pihak kepolisian untuk bersikap independen dalam menjaga kepentingan pemerintah yang berkuasa di satu sisi dan kepentingan perlindungan dan pelayanan masyarakat di sisi lain, dengan tidak melanjutkan laporan ini ke tahap penyidikan pidana,” katanya.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menambahkan langkah arogan LBP dengan tidak membuka ruang diskusi malah menghancurkan demokrasi melalui pelaporan ke Polda Metro Jaya. Peran masyarakat sipil dalam berpartisipasi dalam pengelolaan negara yang bersih malah diberangus.

Sedari awal Ijul, begitu biasa disapa, sudah menduga tujuan somasi memang mengarah pemidanaan terhadap Haris dan Fatia. Ironisnya sebagai pejabat negara tak memberikan ruang diskusi bagi masyarakat yang mengkritiknya. “Ini sudah melampaui ruang demokrasi, demokrasi kita hancur, peran masyarakat sipil terus diberangus,” tegasnya.

Sebelumnya, Menko Marves LBP melaporkan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulida ke Polda Metro Jaya dengan dugaan penyebaran berita bohong. “Haris Azhar sama Fatia yang dilaporkan,” ujar Luhut di Polda Metro Jaya sebagaimana dikutip dari Antara.

Menurutnya, pihaknya telah melayangkan somasi kepada Haris dan Fatia. Namun keduanya dianggap tak kunjung menyampaikan permintaan maaf. Akhirnya, pihaknya menempuh jalur hukum pidana dan gugatan perdata. “Saya kan harus mempertahankan nama baik saya, dan anak cucu saya. Jadi saya kira sudah keterlaluan karena dua kali saya tegur untuk minta maaf,  nggak mau minta maaf. Sekarang kita ambil jalur hukum, jadi saya pidanakan dan perdatakan,” ujarnya.

Penasihat Hukum LBP, Juniver Girsang menambahkan kliennya langsung yang melaporkan ke Polda Metro Jaya. Laporannya terkait jeratan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan kasus perdata. Menurutnya terdapat 3 pasal yang menjadi dasar pelaporannya yakni UU ITE, pidana umum, dan dugaan berita bohong yang diatur dalam KUHP. 

Juniver mengatakan kliennya turut membuat gugatan perdata terhadap Haris dan Fatia sebesar Rp100 miliar. Dia menilai bila angka Rp100 miliar dikabulkan hakim, LBP bakal menyumbangkan bagi masyarakat Papua. “Itulah saking antusiasnya beliau membuktikan apa yang dituduhkan itu tidak benar dan merupakan fitnah pencemaran nama baik,” kata Ketua Umum Peradi Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI) Ini.

Kasus bermula dari unggahan video berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya” yang diunggah di akun Youtube Haris Azhar. Video tersebut membahas laporan sejumlah organisasi termasuk KontraS tentang bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi wilayah Intan Jaya, Papua.

Tags:

Berita Terkait