Pelat Nomor DPR dan Kekuasaan
Kolom

Pelat Nomor DPR dan Kekuasaan

​​​​​​​Persoalan ini sangat fundamental dan kompleks serta erat kaitannya dengan kultur politik dan hukum masyarakat Indonesia.

Bacaan 4 Menit

Tentunya tidak fair apabila kita hanya menyalahkan anggota DPR, karena hampir seluruh pejabat di instansi negara ini mendapatkan fasilitas pelat nomor khusus. Berdasarkan Peraturan Kapolri No 3 tahun 2012, pejabat-pejabat setingkat eselon III ke atas berhak mendapatkan pelat nomor khusus. Apalagi, anggota dewan memang menyandang status sebagai pejabat negara yang dipilih oleh rakyat.

Kepolisian dan DPR tentunya akan cepat untuk menyatakan bahwa pelat nomor tersebut sudah memiliki dasar hukum dan sesuai dengan protokol DPR. Mereka menjelaskan kepada masyarakat dasar hukum tersebut ada di Undang-Undang No. 17 tahun 2014 tentang MD3, Putusan MKD DPR, Peraturan Kapolri sampai Surat telegram Mabes POLRI. Di dalam kenyataan, mudah saja hukum dibuat dan digunakan sebagai instrumen legitimasi terhadap kekuasaan.

Apabila fasilitas pelat nomor khusus disalahgunakan di jalan raya, tentunya penegak hukum juga akan cepat mengatakan bahwa itu adalah deviasi dan sang penyalahguna dapat dikatakan sebagai oknum. Persoalannya tentu tidak sedemikian sederhana. Terminologi deviasi dan oknum berarti adalah orang/hal yang tidak mengikuti aturan-aturan umum yang berlaku. Jangan-jangan, yang dapat disebut oknum adalah justru yang tidak menggunakan pelat nomor khususnya untuk mendapatkan prioritas. Persoalan pelat nomor ini dapat dijadikan refleksi bagaimana sesungguhnya kekuasaan di republik ini diatur dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Tadinya, saya berharap ada “oknum” anggota DPR yang bersuara bahwa sebagai wakil rakyat mereka tidak memerlukan pelat nomor khusus yang akan membedakan mereka dengan rakyat yang mereka wakili. Mereka dapat menggunakan momentum ini untuk memberikan contoh kepada masyarakat sekaligus menegur para penguasa jalan raya. Sayang sekali, saya tidak mendengar ada suara tersebut dari anggota DPR. Yang ada, para anggota DPR sibuk melakukan justifikasi bahwa pelat nomor tersebut diperlukan untuk tugas-tugas mereka.

Saya sadar tentunya tidak mudah untuk mengatasi persoalan ini, karena hal ini adalah persoalan yang sangat fundamental dan kompleks serta erat kaitannya dengan kultur politik dan hukum masyarakat Indonesia. Sekadar langkah penegakan hukum tentunya tidak akan cukup tanpa menyentuh isu fundamental tentang arti dan ide kekuasaan itu sendiri.

Saya takut tulisan Benedict Anderson pada tahun 1990 masih relevan sampai sekarang. Dalam tulisannya, Anderson mengatakan di dalam kultur kekuasaan Indonesia di mana pengumpulan kekuasaan lebih penting dari ide-ide yang kritis tentang bagaimana menggunakannya (hal 23-24). Ketika pengumpulan kekuasaan menjadi tujuannya, mereka akan dengan senang hati menunjukannya kepada rakyat biasa.

*)Aristo Pangaribuan adalah mahasiswa doktoral di University of Washington, School of Law, Amerika Serikat sejak tahun 2018. Aristo juga merupakan dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sejak tahun 2013.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait