Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia
Wahyu Effendi(*)

Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia

Diskriminasi dalam konteks kultural, hubungan antar-individu, sebenarnya merupakan fenomena yang umum terjadi di manapun di belahan dunia ini. Namun, menjadi tidak lazim ketika suatu pemerintahan yang berdasar hukum (rechtsstaat) dan demokrasi, melakukan politik diskriminasi terhadap warga negaranya sendiri. Apalagi jika dilakukan melalui berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan.

Bacaan 2 Menit

Dalam kondisi terkini, ternyata pengelolaan sistem dan manajemen catatan sipil yang berbasis aturan staatsblad  tersebut, mengakibatkan permasalahan diskriminasi terhadap kelompok warga negara yang lebih luas, terlepas dari apapun etnis dan agamanya. Sudah banyak diketahui betapa banyaknya WNI yang tidak tercatat dalam pendaftaran pemilih Pemilihan Umum 2004. Perspektif catatan sipil yang selalu ditempatkan dalam kerangka pendaftaran penduduk, akhirnya membiaskan status perdata penduduk warga negara dan penduduk non-warga negara Sehingga tidak diketahui siapa saja penduduk secara pasti yang mempunyai hak untuk menjadi pemilih dalam Pemilihan Umum 2004.

Catatan Sipil dan Diskriminasi Etnis

Permasalahan diskriminasi etnis yang paling menonjol di Indonesia saat ini adalah permasalahan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Misalnya dengan kewajiban SBKRI sebagaimana disampaikan diatas.Walaupun ada beberapa kasus diskriminasi di Yogyakarta terhadap WNI etnis India untuk memiliki SKKI (semacam SBKRI), namun secara umum WNI etnis India, Arab, dan warga negara keturunan lainnya hampir tidak mengalami permasalahan pelembagaan diskriminasi sebagaimana WNI etnis Tionghoa. Bahkan, dalam praktek pelayanan catatan sipil, WNI etnis Arab dan India dikategorikan sebagai Indonesia bumiputera non-Kristen (S.1920).

Permasalahan diskriminasi etnik seperti disinggung dalam awal tulisan banyak hal bersumber pada IS, yang mana WNI etnis Tionghoa atau mereka yang beretnis Cina, apapun warga negaranya, dikategorikan dalam satu kelompok perdata yang sama, yaitu golongan Tionghoa (S.1917). Sehingga, seorang WNI etnis Tionghoa yang mencatatkan diri ke KCS akan diperlakukan sama sebagai golongan Tionghoa, (S.1917) sama status perdatanya dengan seorang Tionghoa warga negara Malaysia.

Dalam praktek, seorang anak WNI etnis Tionghoa yang akan mendaftar ke sekolah akan mendapatkan pembatasan masuk untuk WNA (40 persen untuk sekolah-sekolah) seperti semangat dalam Instruksi Presidium Kabinet No.37/U/IN/6/1967 tentang Kebijakan Pokok penjelasan Masalah Cina maupun dalam Surat Presiden RI ke Menteri P dan K (sekarang Menteri Pendidikan Nasional) dan Menteri Dalam Negeri No. B-12/Pres/I/1968 tanggal 17 Januari 1968, dan Instruksi Menteri P dan K No. 18/U/1974 tanggal 23 November 1974 serta Keputusan Menteri P dan K No. 0170/U/1975 tentang Pedoman Pelaksanaan Asimilasi (Pembauran) di bidang Pendidikan.

Permasalahan diskriminasi etnis WNI Tionghoa di Indonesia adalah permasalahan yang selalu menjadi berita belakangan ini, terutama dengan masih diterapkannya SBKRI. Walau terlihat seperti suatu permasalahan administratif semata, namun SBKRI menimbulkan permasalahan kewarganegaraan yang sangat mendasar bagi WNI etnis Tionghoa. SBKRI yang bertubi-tubi dipersyaratkan dalam setiap pelayanan publik seperti dalam permohonan paspor di kantor imigrasi, masuk sekolah, pengajuan kredit, pengurusan akte tanah, pengurusan KTP.

Kendati sudah dianggap bagian dari Negara Republik Indonesia dengan penegasan ius solli (tempat kelahiran) dalam UU Kewarganegaraan yang pertama No. 3 Tahun 1946, keadaan malah menjadi semakin kompleks dengan adanya perjanjian Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Perjanjian tersebut mengembalikan status kewarganegaraan dalam pembagian warga negara berdasarkan penggolongan etnis. Ada juga kewajiban pernyataan diri bagi WNI Tionghoa, yaitu pernyataan menolak bila tidak ingin menjadi WNI, dan cukup berdiam diri bila tetap menjadi WNI.

Setelah masalah tersebut selesai, muncul lagi permasalahan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRT pada tahun 1955 dengan UU No. 2 Tahun 1958 dikarenakan adanya klaim politik Chou En-Lai bahwa semua etnis Tionghoa  yang berada di manapun akan tetap menjadi warga negara RRT dikarenakan asas ius sanguinis (keturunan). Untuk itu, semua WNI etnis Tionghoa diwajibkan untuk menyatakan diri tetap menjadi WNI atau WN RRT dengan masa opsi 20 Januari 1960 sampai dengan 20 Januari 1962.

Tags: