Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia
Wahyu Effendi(*)

Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia

Diskriminasi dalam konteks kultural, hubungan antar-individu, sebenarnya merupakan fenomena yang umum terjadi di manapun di belahan dunia ini. Namun, menjadi tidak lazim ketika suatu pemerintahan yang berdasar hukum (rechtsstaat) dan demokrasi, melakukan politik diskriminasi terhadap warga negaranya sendiri. Apalagi jika dilakukan melalui berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan.

Bacaan 2 Menit

Pengertian agama dan kepercayaannya yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan hanya kepada lima agama resmi negara lebih didasarkan pada penafsiran Departemen Agama berdasarkan lima direktorat jenderal dalam Departemen Agama yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha.

Beberapa kasus pernikahan Konghucu yang bahkan sudah mendapat pengesahan dari Mahkamah Agung, selalu saja mendapat penolakan dari kantor Catatan Sipil dengan anggapan bahwa pengesahan MA tersebut hanya berlaku bagi pasangan perkawinan Konghucu dalam pengesahan MA saja, dan tidak berlaku untuk pasangan Konghucu yang lain. Begitupun halnya dengan pasangan perkawinan adat Karuhun Sunda Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, yang sampai saat ini tidak mendapatkan pencatatan dari kantor Catatan Sipil. .

Begitupun halnya dengan pernikahan mereka yang berbeda agama, walaupun tidak serta-merta menutup peluang pernikahan antar pasangan yang berbeda agama dan kepercayaan, namun UU Perkawinan menjadi petunjuk bagi petugas KCS atau KUA untuk menolak pencatatan perkawinan tersebut. Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah kalau dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaannya.

Akibat sulitnya mencatatkan perkawinan beda agama di Indonesia, banyak sekali pasangan beda agama yang terpaksa harus mencatatkan perkawinan mereka di luar negeri untuk akhirnya dilaporkan ke KCS di Indonesia. Yang menyedihkan ialah mereka yang tidak mampu untuk menikah di luar negeri, terpaksa harus melangsungkan pernikahan tanpa akta perkawinan, yang oleh RUU KUHP yang sedang dirancang oleh Departemen Kehakiman disebut kumpul kebo.

Disinyalir oleh Departemen Dalam Negeri ada sekitar 5.000 pasangan Indonesia berbeda agama setiap tahun di Singapura. Sungguh ironis, bahwa warga negara Indonesia di dalam negeri tidak mendapatkan perlindungan hukum, justru mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain.

Salah satu rekomendasi yang harus dilakukan untuk penghapusan diskriminasi warga negara dan penciptaan kesetaraan WNI adalah dengan memperbaharui peraturan perundangan bidang catatan sipil. Walaupun tidak serta merta dapat menghapuskan diskriminsi warga negara di Indonesia, namun pembaharuan hukum catatan sipil membuka jalan bagi pembaharuan peraturan perundangan lainnya seperti pembaharuan UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, KUH Perdata, UU Imigrasi, dan lain-lain.

Sebagai muara dari semua peraturan keperdataan di Indonesia, pembaharuan hukum catatan sipil menjadi sangat penting, terlebih karena penggolongan etnis dan agama dalam staatsblad, berada dalam lingkup catatan sipil. Pembenahan catatan sipil Indonesia akan ikut menata keteraturan pemerintahan dalam administrasi kependudukan saat ini dan tata pemerintahan yang baik. Keamburadulan pengelolaan administrasi kependudukan seperti ketidaktepatan jumlah penduduk, KTP ganda, KTP palsu dan sebagainya, membutuhkan pondasi pengelolaan sistem catatan sipil yang terencana, terarah, continue dan tidak diskriminatif.

Tags: