Pembahasan Omnibus Law Jangan Tutup Ruang Publik
Berita

Pembahasan Omnibus Law Jangan Tutup Ruang Publik

Karena materi muatan omnibus law dinilai masih bermasalah karena peningkatan investasi tidak cukup diselesaikan dengan mencabut pasal-pasal di banyak UU.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Rencana pemerintah melakukan deregulasi puluhan UU melalui pembentukan omnibus law terus bergulir meskipun banyak kalangan yang mengkritik. Mulai akademisi, kalangan organisasi serikat buruh/pekerja, lembaga bantuan hukum, hingga organisasi masyarakat sipil.

 

Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB Prof Hariadi Kartodiharjo menilai argumen pemerintah terkait lambatnya investasi masuk ke Indonesia diatasi dengan mencabut atau menghapus sejumlah pasal yang menghambat investasi tidaklah tepat. Menurut Hariadi, persoalannya bukan karena pasal-pasal yang bermasalah, tapi pelaksanaannya tidak berkualitas.

 

Hal ini terkait juga dengan kelembagaan dan birokrasi yang berperan atas pelaksanaan pasal tersebut. Misalnya, dalam proses perizinan, selama ini yang diutamakan sekedar proses administratif tanpa mencermati substansinya. Dia menilai omnibus law ini dinilai luput mencermati masalah kelembagaan dan birokrasi.

 

"Masalahnya itu karena kewenangan yang dimiliki tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Ini soal Kelembagaan dan birokrasi, bukan seluruhnya masalah pasal dalam UU yang dirasa menghambat investasi," kata Hariadi di Jakarta, Selasa (15/1/2020). Baca Juga: Presiden Minta Omnibus Law Rampung dalam 100 Hari Kerja

 

Terkait masalah penggunaan lahan dan hutan yang saling tumpang tindih, Hariadi menilai persoalan ini tidak akan tuntas lewat omnibus law. Hal ini terjadi karena percepatan proses perizinan dalam penggunaan tanah dan hutan melalui mekanisme omnibus law tidak disinergikan dengan penanganan konflik agraria yang terjadi di area tersebut.

 

Parahnya lagi, Hariadi melihat ada usulan dari tim omnibus law yang berencana menghilangkan tata batas hutan. Jika ini terjadi, maka pihak yang memegang peta konsesi hanya perusahaan dan pemerintah. Masyarakat akan kesulitan untuk mendapatkan peta yang rencananya akan berbentuk elektronik itu. Hariadi mengingatkan penggunaan tanah dan hutan tidak boleh mengabaikan unsur sosial dan budaya.

 

Selain itu, Hariadi melihat omnibus law tidak menyasar persoalan korupsi. Padahal kasus korupsi di sektor perizinan masih terjadi sekalipun pemerintah telah menggulirkan kebijakan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS).

Tags:

Berita Terkait