Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat Tergantung Pemerintah
Berita

Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat Tergantung Pemerintah

Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat hanya membutuhkan komitmen dan keseriusan pemerintah dan DPR.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolingi menilai lambannya pembahasan RUU tersebut karena pemerintah lamban menyerahkan DIM. “Permasalahan berada di pemerintah.Tanpa adanya DIM, tidak ada bahan yang digunakan untuk pembahasan,” ujarnya.

 

Dia mengingatkan RUU Masyarakat Hukum Adat menjadi RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2018 dan masuk dalam Prolegnas 2019. Pembahasan di tingkat Baleg dengan meminta masukan dari berbagai pemangku kepentingan sudah berjalan. Bahkan sebelumnya telah terbit Surpres Nomor R-19/Pres/04/2018 tertanggal 18 April 2018. Rapat Konsultasi Pengganti Rapat Bamus pada 2 Juli 2018 dan RUU sudah mulai dibahas di tingkat Baleg.

 

Menurutnya, di internal pemerintah tidak solid. Padahal, Presiden Jokowi telah menyatakan bakal menerbitkan Surpres ke 6 menteri. Yakni Kemendagri, Kemenkumham, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria  dan Tata Ruang, Kementerian Kelautan Perikanan, dan Kementerian Desa. “Tapi sampai detik ini DIM belum diterima oleh DPR. Kementerian membangkang perintah Presiden,” tudingnya.

 

Lebih lanjut Rukka mengatakan dalam rapat kerja DPR dengan pemerintah, kedua belah pihak bersepakat bakal mengesahkan dalam dua kali masa sidang yang bakal berakhir di awal tahun 2019. Namun sayangnya dengan belum adanya DIM, nasib RUU tersebut bakal terancam mandeg. Apalagi di tahun politik, anggota dewan yang mencalonkan kembali menjadi anggoa dewan bakal sibuk mengamankan kursinya di parlemen.  

 

Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, Wahyu Nugroho menilai pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat mesti mengakomodir beberapa hasil temuan dan masukan para tokoh masyarakat, adat, kepala daerah, AMAN terutama merumuskan subjek hukum masyarakat hukum adat itu sendiri.

 

Menurutnya pengakuan subjek hukum masyarakat hukum adat masih belum merata di seluruh Indonesia. Apalagi persoalan objek berupa tanah hak ulayat yang membutuhkan pengakuan negara. Selama ini pengaturan masyarakat hukum adat hanya merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Peraturan Daerah.

 

“Sementara yang dibutuhkan masyarakat adalah aturan setingkat UU,” kata dia.

 

Dia mencontohkan selama ini konflik agraria yang sebagian objeknya adalah tanah ulayat atau komunal dalam bahasa Permen Agraria No.10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.

 

“Masyarakat hukum adat merupakan bagian dari living law yang perlu ditransformasikan ke dalam pembentukan hukum, sehingga keadilan dan kemanfaatan dapat dirasakan subjek masyarakat hukum adat itu sendiri,” kata anggota divisi advokasi Asosiasi Pengajar Hukum Adat ini.

Tags:

Berita Terkait