Pembatasan Kebebasan Berpendapat melalui Hak untuk Tersinggung-Menyinggung
Kolom

Pembatasan Kebebasan Berpendapat melalui Hak untuk Tersinggung-Menyinggung

Apakah sebegitu penting bagi individu atau kelompok masyarakat tertentu untuk merespons ujaran atau tulisan, terutama dengan rasa tersinggung dan marah?

Bacaan 6 Menit
Pembatasan Kebebasan Berpendapat melalui Hak untuk Tersinggung-Menyinggung
Hukumonline

Tuntutan ide bernegara dan berhukum yang terangkum dalam konsep Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1(3) UUD 1945 amandemen ke-3) atau dalam Penjelasan UUD 1945: Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Konsekuensi dari pandangan ini adalah kekuasaan negara, pemerintah dan terutama para pejabat (sipil, penegak hukum, kekuasaan kehakiman dan militer) harus dilandaskan pada hukum.

Selanjutnya bahwa penyelenggaraan kekuasaan itu selalu diwujudkan, tidak sekadar dalam rujukan dengan tujuan bernegara, namun terutama dalam batasan apa yang dianggap legal (absah; prosedural dan substantif) dan legitim (dari sudut pandang sosial-politik dan etis). Dalam kerangka konsep ini pula harus dikaitkan kewajiban negara untuk menghormati (respect), melindungi (protect) dan memenuhi (fulfil) hak-hak dasar (asasi) dan kadang sekaligus constitutional (tercantum tegas dalam konstitusi) yang diberikan pada warga negara (citizen) dan orang perorang sebagai manusia.

Salah satu hak asasi terpenting tercantum dalam Pasal 28e (3) UUD 1945 berkenaan dengan kebebasan berpendapat dan berasosiasi (berserikat-berkumpul). Beranjak dari hal ini warga negara, di negara hukum Indonesia, seharusnya bebas mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk melalui pers (media cetak atau elektronik), dan dengan berunjuk rasa. Hak terakhir (unjuk rasa) terkait erat dengan jaminan hukum bagi masyarakat untuk berperan serta dalam proses pembentukan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan penguasa.

Kebebasan menyatakan pendapat dalam bentuk lain terkait dengan dunia akademik dan sejatinya muncul dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atau kebebasan civitas akademika untuk menyatakan pandangan secara lisan atau tulisan.

Dengan kata lain, di dunia akademik dan ilmu seharusnya berlaku kebebasan mimbar (dalam proses belajar mengajar) dan kebebasan akademik (mengumpulkan informasi-data, menganalisisnya, mempertanggungjawabkan hasil penelitian di forum ilmiah secara lisan atau tulisan). Kedua bentuk kebebasan itu penting dijaga dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan yang hanya mungkin terjadi bila sikap skeptis dan kritis justru menjadi ciri budaya akademis.

Tentu harus segera disampaikan bahwa pemenuhan hak asasi atau kebebasan dasar itu tidak berlaku mutlak. Kebebasan menyatakan pendapat tidak boleh dimaknai sebagai kebebasan menghujat, menyebarkan permusuhan-kebencian (hate speech) atau dilakukan dengan motif menghina (libel), mencemarkan nama baik orang lain (defamation) atau fitnah (slander).

Pembatasan kebebasan ini oleh hukum dilakukan dengan tujuan menjaga ketertiban dan kerukunan pergaulan di dalam masyarakat. Sementara itu di dunia pendidikan formal, kebebasan mimbar dan akademik, terutama dibatasi oleh etik akademik. Apa yang diajarkan, diteliti, ditelaah dan dilaporkan sebagai temuan ilmiah harus dilakukan sejalan dengan kaidah-kaidah keilmuan dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (scientific-academic accountability).

Tags:

Berita Terkait