Pembatasan Kebebasan Berpendapat melalui Hak untuk Tersinggung-Menyinggung
Kolom

Pembatasan Kebebasan Berpendapat melalui Hak untuk Tersinggung-Menyinggung

Apakah sebegitu penting bagi individu atau kelompok masyarakat tertentu untuk merespons ujaran atau tulisan, terutama dengan rasa tersinggung dan marah?

Bacaan 6 Menit

Dalam dunia pers cetak, jurnalis sebelum mencetak berita, wajib mengumpulkan informasi secara lengkap-cermat, dan mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut. Bahkan setelah tulisan diterbitkan atau ditayangkan, mereka yang tersebut memiliki hak jawab dengan tujuan agar berita dan analisis kembali berimbang. Singkat kata, jalur komunikasi dibiarkan terbuka dan pihak yang lain diberi kesempatan bela diri dengan menyampaikan versi ceritanya. Kesempatan ini yang kemudian dinafikan ketika pendekatan ‘pokoknya kami terhina’ didahulukan.

Lantas, siapakah mereka itu atau seberapa penting ujaran (siapapun sumbernya) sehingga harus ditanggapi dengan reaksi keras? Mengapa banyak orang atau kelompok masyarakat justru memilih seketika menutup saluran komunikasi dan langsung menuntut permintaan maaf terbuka, pengunduran diri atau menggunakan jalur hukum pidana dengan tujuan membalas sakit hati? Mungkin apa yang terjadi dapat dibayangkan sebagai paradox antara “main hakim sendiri” karena tidak percaya pada jalur normal dan non hukum, dengan kehendak meminjam tangan polisi dan sistem peradilan pidana.

Matinya kebebasan dan keberanian berpikir kritis-evaluatif

Apa yang juga menjadi korban ikutan adalah kebebasan berpendapat di dalam dan di luar dunia akademik. Seberapa jauh kita semua, termasuk akademisi, di dunia nyata harus teliti dan cermat melakukan self-censorship, sehingga apapun yang kita ucapkan atau tuliskan tidak mungkin dirasakan menghina-mencemarkan nama orang lain atau kelompok? Apakah menjaga kehormatan-nama baik atau harmoni harus diutamakan ketimbang upaya tidak henti mendebatkan kebenaran dalam konteks melangkah maju?

Dalam situasi yang digambarkan sebelumnya yang dibunuh adalah keberanian dan kejujuran orang perorang untuk menyatakan pendapat secara kritis-terbuka, peluang dan suasana di mana semua peserta dapat berdialog atau berdebat keras dan terbuka, termasuk ke dalamnya menjaga sikap rendah hati untuk tidak merasa paling benar, mengakui kesalahan dan kemudian melangkah maju.

*)Tristam Pascal Moeliono, dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait