Pembentukan Dewan Keamanan Nasional Dinilai Potensi Tumpah Tindih dengan Lembaga Lain
Terbaru

Pembentukan Dewan Keamanan Nasional Dinilai Potensi Tumpah Tindih dengan Lembaga Lain

Rencana pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) perlu mencermati prinsip transparansi, akuntabilitas, serta melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation).

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Aparat kepolisian tengah melakukan pengamanan. Foto Ilustrasi: RES
Aparat kepolisian tengah melakukan pengamanan. Foto Ilustrasi: RES

Wacana pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) kembali bergulir setelah ada pandangan yang mengusulkan perubahan Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) menjadi DKN. Usulan itu mendapat sorotan kalangan masyarakat sipil salah satunya Ketua Centra Initiative, Al Araf. Dia melihat usulan itu tak lama muncul setelah ramai isu melegalkan anggota TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil.

Peneliti senior Imparsial itu menilai rencana pembentukan DKN harus mencermati prinsip transparan, akuntabilitas, dan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation). Hal itu penting mengingat DKN adalah lembaga strategis karena memberikan pertimbangan kepada Presiden soal keamanan nasional seperti situasi bahaya, darurat, dan perang. “Proses pembentukannya (DKN, red) harus dilakukan secara terbuka dan partisipatif,” kata pria yang disapa Aal itu dalam keterangannya, Senin (29/8/2022).

Aal mengingatkan rencana pembentukan DKN ini agenda lama yang dulu dipaksa untuk masuk dalam RUU Keamanan Nasional (Kamnas). Upaya itu gagal karena mendapat kritik keras dari masyarakat sipil. Urgensi pembentukan DKN patut dipertanyakan karena berpotensi menimbulkan tumpang tindih kerja dan fungsi dengan lembaga lainnya, seperti Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Dewan Pertimbangan Presiden (wantimpres), dan Kantor Staf Presiden (KSP).

Pembentukan DKN yang dilakukan terburu-buru, dan terkesan tertutup menimbulkan dugaan pemerintah sedang membentuk wadah represi baru negara terhadap masyarakat. Seperti pembentukan Kopkamtib di masa orde baru.

Terkait usulan penempatan TNI dalam jabatan sipil melalui revisi UU No.32 Tahun 2004 tentang TNI, bagi Aal itu keliru dan bermasalah. Sama saja mengembalikan praktik dwi fungsi ABRI di era orde baru. Padahal dihapusnya dwi fungsi ABRI merupakan koreksi terhadap penyimpangan peran dan fungsi ABRI yang pada masa itu sebagai alat kekuasaan.

Salah satu bentuk dwi fungsi ABRI yang telah dihapus antara lain penempatan TNI aktif pada jabatan-jabatan sipil baik di kementerian, lembaga negara maupun pemerintah daerah (Gubernur, Bupati, Walikota). Pasal 47 ayat (2) UU TNI mengatur pengecualian dimana militer aktif hanya dapat menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan, seperti Kementerian Pertahanan, Kemenkopolhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil menurut Aal tidak menuntaskan masalah penumpukan perwira non-job. Ada upaya lain yang bisa dilakukan seperti perbaikan proses rekrutmen prajurit, pendidikan, kenaikan karier dan kepangkatan. Wacana menempatkan TNI aktif dalam jabatan sipil lebih terlihat sebagai siasat untuk melegalkan kebijakan yang selama ini keliru yakni banyaknya anggota TNI aktif yang mengampu jabatan sipil seperti BNPB, Kementerian, dan BUMN.

Tags:

Berita Terkait