Pembentukan Kodam untuk 38 Provinsi Bertentangan dengan Reformasi TNI
Terbaru

Pembentukan Kodam untuk 38 Provinsi Bertentangan dengan Reformasi TNI

Wacana Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk melakukan pembentukan Kodam baru di 38 provinsi perlu untuk dipertanyakan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Peneliti dan pengamat pertahanan BRIN Diandra Megaputri Mengko, mengatakan restrukturisasi militer memang dibutuhkan, di mana beberapa komponen militer seharusnya dikurangi, dan hanya diperkuat di wilayah tertentu saja yang sarat akan ancaman eksternal. Wacana Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk melakukan pembentukan Kodam baru di 38 provinsi perlu untuk dipertanyakan.

Menurut Diandra, Kemhan menilai TNI membutuhkan kolaborasi dengan pemerintah daerah. Hal itu bertentangan dengan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur komponen militer merupakan alat pertahanan negara, bukan alat pertahanan daerah. TNI merupakan suatu institusi berskala nasional, sehingga apabila TNI terpencar dan tidak terpusat akan melahirkan berbagai persoalan baru.

“Untuk melakukan restrukturisasi TNI, dibutuhkan kajian mengenai pandangan dinamika ancaman, agar TNI dapat berfokus pada tugas pokok dan fungsi yang sesuai dengan keahliannya,” usulnya.

Evaluasi rencana

Diandra menjelaskan, tidak ada postur ideal dari suatu komponen militer. Tapi setidaknya, ada 2 hal yang dapat dijadikan indikator dalam agenda perluasan komando teritorial. Pertama, menilai aspek ancaman militer. Kedua, mempertimbangkan wacana penataan komponen militer dengan memperhatikan aspek hubungan antara sipil dan militer.

Diandra melihat ada kekhawatiran rencana ini tidak berdampak pada pertahanan. Wacana pembentukan kodam baru ini dapat dipahami dari logika politik, tidak dari logika pertahanan. Sehingga dibutuhkan adanya dorongan publik untuk mengevaluasi rencana ini. “Selain itu, otoritas sipil juga perlu bertindak membaca ancaman sebagai bagian dari kontrol sipil untuk dijadikan masukan kepada pemerintah dan TNI,” imbuhnya.

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, mencatat dari segi penempatan aparat TNI di Papua tidak hanya terdiri dari aparat organik, tapi turut mencakup penempatan pasukan non-organik yang dilakukan hampir setiap bulan dengan jumlah mencapai ribuan. Riset YLBHI menemukan fakta bahwa terdapat kesamaan data antara penempatan pasukan dan pos-pos baru dengan wilayah pertambangan dan bisnis.

“Ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan besar, apakah penempatan pasukan ini merupakan bagian dari konflik agraria, konflik tambang, dan berbagai konflik lain yang terus membara di Papua?” urai Isnur.

Isnur juga menyoroti berbagai konflik berkepanjangan yang tidak sanggup untuk diselesaikan atau memang tidak mau diselesaikan. Hal tersebut berkorelasi dengan berbagai kasus besar yang menimpa masyarakat sipil, di mana aparat keamanan merupakan aktor kunci yang berada di belakangnya. Selain itu, banyak aparat di lapangan yang melakukan ‘insubordinasi’ dengan tugas-tugas di luar wilayah tugasnya yang telah ditentukan.

“Kondisi penempatan aparat militer di Papua sejauh ini telah banyak menimbulkan kerusakan dan ketegangan konflik. Sehingga penambahan Kodam justru akan semakin memperkeruh suasana,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait