Pemberhentian Aswanto Bentuk Pelecehan Independensi Kekuasaan Kehakiman
Terbaru

Pemberhentian Aswanto Bentuk Pelecehan Independensi Kekuasaan Kehakiman

LBH Jakarta mendesak agar Ketua Mahkamah Konstitusi mengirimkan surat Kepada Presiden untuk kembali mengangkat Aswanto sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Pemberhentian secara “paksa” terhadap Hakim Konstitusi Aswanto oleh Komisi III DPR dan resmi disahkan dalam rapat paripurna pekan lalu terus mendapat sorotan masyarakat. Meski tidak secara bulat, namun mayoritas fraksi partai memberikan persetujuan. Tindakan DPR pun menuai kecaman dari berbagai elemen masyarakat dan akademisi.

“Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai DPR RI telah mengangkangi hukum, melecehkan independensi, kemandirian, kebebasan kekuasaan Kehakiman serta bertindak melampaui kewenangannya,” ujar Pengacara Publik LBH Jakarta, M. Charlie Meidino Albajili melalui keterangan tertulisnya, Selasa (4/10/2022).

Menurut Charlie, alasan Komisi III mengganti Aswanto lantaran kinerjanya dianggap mengecewakan. Sebab, Aswanto dinilai kerap menganulir UU produk DPR yang diuji di MK. Paling terlihat, dianulirnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam putusan uji formil, Aswanto bersama empat hakim konstitusi lainnya menilai UU 11/2020 inkonstitusional bersyarat.

Baca Juga:

Bagi LBH Jakarta, pencopotan Aswanto dari hakim konstitusi bentuk pelecehan independensi kebebasan kekuasaan kehakiman. Setidaknya LBH Jakarta memiliki tiga alasan. Pertama, pencopotan Aswanto secara sepihak oleh DPR merupakan pelanggaran hukum. Mengacu pada Pasal 23 ayat 4 UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan, “Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi”.

Sementara alasannya pun diatur limitatif dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU 7/2020 yakni pemberhentian dengan hormat dilakukan atas alasan-alasan diantaranya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, berusia 70 tahun, dan sakit jasmani atau rohani. Sementara pemberhentian secara tidak hormat dilakukan apabila hakim konstitusi dipidana penjara sesuai dengan putusan pengadilan yang sudah inkracht.

Kemudian melakukan perbuatan tercela, tidak menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah, melanggar sumpah atau janji jabatan, sengaja menghambat MK memberi putusan, rangkap jabatan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi, serta melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi. 

Tags:

Berita Terkait