Pembubaran HTI dan Kebebasan Berserikat
Kolom

Pembubaran HTI dan Kebebasan Berserikat

Penting untuk mengadili perbuatan, bukan mengadili gagasan atau pemikiran.

Bacaan 2 Menit
Eryanto Nugroho. Foto: PSHK
Eryanto Nugroho. Foto: PSHK
Polemik berseliweran pasca konferensi pers Menko Polhukam Wiranto soal rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ada yang mendukung upaya pembubaran, ada pula yang menolak dengan argumen kebebasan berserikat. Dilema antara gemas dan cemas. Antara mendukung penegakan hukum yang tegas, dan rasa was was kembalinya politik represi.

Konferensi pers Menko Polhukam Wiranto sempat menimbulkan kesimpangsiuran informasi di kalangan masyarakat. Pernyataan bahwa “… pemerintah perlu mengambil langkah–langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI” sempat ditafsirkan banyak pihak bahwa pemerintah telah melakukan pembubaran sepihak tanpa lewat jalan pengadilan. Untungnya hal itu kemudian segera diluruskan, bahwa pembubaran HTI akan dilakukan melalui proses peradilan.

Beragam reaksi pro dan kontra terhadap langkah pemerintah ini sangatlah bisa dimengerti. Bagi pihak yang mendukung, langkah tersebut seakan merupakan jawaban atas ketidakjelasan dan ketidaktegasan sikap pemerintah selama ini. Bagi pihak yang kontra, langkah ini menjadi tambahan alasan untuk makin waspada setelah melihat fenomena menyempitnya ruang kebebasan belakangan ini.

Langkah pembubaran organisasi juga kerap diragukan efektivitasnya. Organisasi yang dibubarkan dianggap bisa saja lantas mendirikan organisasi baru dengan nama baru. Namun bagi yang mendukung, langkah pembubaran dipandang sebagai suatu gesture politik yang tegas dan diperlukan.

Satu hal yang jelas adalah bahwa proses pembubaran organisasi kemasyarakatan (Ormas) tidaklah semudah seperti di masa lalu. Undang-Undang No.17 Tahun 2013 Tentang Ormas mengatur beberapa tahapan yang harus dilalui (peringatan tertulis, penghentian bantuan, dan/atau penghentian sementara kegiatan), dan untuk Ormas yang berbadan hukum langkah pembubaran akan ditentukan ujungnya di ruang pengadilan.

Tahapan dan jalur pengadilan ini penting untuk melindungi dari kesewenang-wenangan penguasa dan menjaga kebebasan berserikat. Ironisnya, hal inilah yang “dikeluhkan” Wiranto beberapa hari sebelum konferensi pers mengenai rencana pembubaran HTI. Wiranto menyatakan bahwa hukum di era reformasi lebih lemah dibanding di era orde baru.

Jalan Pengadilan
Langkah pemerintah untuk mengambil jalan permohonan pembubaran melalui pengadilan merupakan langkah yang lebih baik, jika dibandingkan dengan proses pembubaran organisasi ataupun partai politik secara sepihak yang pernah dilakukan di masa lalu.

Namun kritik juga perlu diberikan dalam rangka mempertanyakan proporsionalitas dan efektivitas pilihan langkah pembubaran ini. Pemerintah seperti langsung melompat kepada langkah pembubaran, tanpa menunjukkan upaya pra kondisi yang memadai sebelum mengambil langkah pembubaran. Tanpa melalui tahapan sanksi administratif (peringatan tertulis, penghentian bantuan, dan/atau penghentian sementara kegiatan) maka dapat dipastikan permohonan pembubaran tidak akan diterima oleh Pengadilan (Pasal 70 ayat (4) UU Ormas).

Dari segi pilihan langkah pemerintah menuju pelarangan ataupun pembubaran, “nasib” HTI lebih baik daripada Pelajar Islam Indonesia (PII) ataupun Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) di era Orde Baru. Pada 10 Desember 1987, PII dan GPM tidak diakui keberadaannya dan kegiatannya dilarang karena dianggap tidak menyesuaikan dengan UU Ormas 1985 dengan tidak menyantumkan asas Pancasila. Keputusan itu tertuang dalam SK Mendagri Nomor 120 dan 121 Tahun 1987, yang ditandatangani Mendagri saat itu Soepardjo Rustam. Keputusan itu tentunya bersifat sepihak, di mana PII dan GPM tidak punya kesempatan untuk membela diri organisasinya.

Hal yang berbeda akan dijalani oleh HTI di era reformasi ini. Bila nanti pemerintah melalui kejaksaan jadi mengajukan permohonan pembubaran ke pengadilan, HTI akan diberi hak untuk membela diri dengan memberikan keterangan dan bukti di persidangan (Pasal 70 ayat (7) UU Ormas).

Mengadili Perbuatan
Kebebasan berserikat dijamin dalam Pasal 28 dan 28E ayat (3) UUD 1945 dan merupakan hak yang dapat dibatasi (derogable right). Persidangan pembubaran HTI akan menjadi suatu ajang tarik menarik dan adu argumentasi, sejauh mana hak kebebasan berserikat itu perlu diberikan dan perlu dibatasi.

Organisasi Hizb ut-Tahrir telah banyak dilarang di berbagai negara di dunia. Tentu pemerintah, dalam hal ini khususnya kejaksaan, perlu mempelajari berbagai perdebatan dan argumentasi yang berkembang sebelum mengajukan permohonan pembubaran ke pengadilan nanti. Pemerintah juga perlu ingat bahwa Indonesia telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), di mana telah diberikan ukuran dalam hal apa saja pembatasan hak kebebasan berserikat ini diperkenankan.

Pasal 22 ICCPR menyebutkan bahwa pembatasan atas hak kebebasan berserikat hanya boleh dilakukan sepanjang hal itu diatur undang-undang (prescribed by law), memenuhi satu dari empat kepentingan negara (legitimate state interests: a) national security, b) public safety, c) public order, dan d) the protection of public health or morals or the protection of the rights and freedoms of others), dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (necessary in a democratic society).

Belum jelas alasan hukum apa yang akan dijadikan sebagai dasar permohonan pembubaran. Dari materi konferensi pers Menko Polhukam ada tiga poin yang tampaknya menjadi pertimbangan alasan rencana membubarkan HTI: Pertama, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam UU Ormas. Ketiga, aktivitas yang dilakukan nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah harus membuktikan bahwa HTI telah melanggar sederetan larangan yang diatur dalam UU Ormas. Beberapa larangan yang tercantum dalam Pasal 59 UU Ormas antara lain adalah: larangan menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan dengan organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI; melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Kita tentu berharap akan terjadi perdebatan, pertimbangan, dan argumentasi yang mendalam dalam persidangan pembubaran ini bila nanti terjadi. Kita juga berharap pengadilan akan bekerja independen dalam memeriksa dan memutus layak atau tidaknya HTI dibubarkan. Peran pengadilan bukan untuk mengadili seberapa Pancasilais organisasi HTI, tapi membuktikan perbuatan apa yang dilakukan HTI sehingga perlu untuk dibubarkan. Penting untuk mengadili perbuatan, bukan mengadili gagasan atau pikiran.

*) Eryanto Nugroho adalah Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Dosen di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: