Pemerintah Bakal Adopsi Pasal Advokat Curang dalam RUU Advokat
Utama

Pemerintah Bakal Adopsi Pasal Advokat Curang dalam RUU Advokat

Nantinya, pemerintah bakal memasukkan pasal advokat curang dalam RUU Advokat. KAI menilai UU 18/2003 sudah saatnya dirombak.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia Rumah Bersama Advokat (Sekjen Peradi RBA), Imam Hidayat menilai pencabutan Pasal 282 RKUHP sudah tepat. Dia beralasan Pasal 282 RKUHP sangat berpotensi mengkriminalisasi kerja-kerja advokat dalam rangka pembelaan dan pendampingan klien dan masyarakat pencari keadilan.

Dia menilai kata “curang” dalam Pasal 282 RKUHP menjadi ambigu lantaran parameter “curang” menimbulkan anasir-anasir yang cenderung sangat subyektif. Pengaturan itu mudah “diplintir” oleh pihak yang memiliki kekuasaan dan kewenangan. “Sehingga tepat bila hal tersebut nantinya diatur dalam RUU Advokat,” kata dia.

Sebelumnya, Ketua Umum PERADI Suara Advokat Indonesia (SAI) Juniver Girsang merespon positif adanya informasi pencabutan Pasal 282 RKUHP. Sejak awal, pihaknya meminta pemerintah agar rumusan norma sepanjang mengenai aturan “kriminalisasi” terhadap advokat dalam Pasal 282 dicabut dari draf RKUHP. “Berita menggembirakan kepada seluruh advokat di Indonesia,” kata dia beberapa waktu lalu.

Wakil Ketua MPR Arsul Sani berpandapat pilihan mencabut rumusan norma Pasal 282 dipandang tepat. Ia menekankan agar perlakuan sama antara penegak hukum harus dimulai sejak dalam aturan RKUHP. Aturan yang mengedepankan asas persamaan di depan hukum ini bertujuan agar memudahkan dalam sistem peradilan terpadu. “Jadi pilihannya pasal itu memang harus dicabut atau pasal itu diberlakukan untuk semua penegak hukum dalam sistem peradilan terpadu kita,” katanya.

Saatnya UU Advokat dirombak

Sementara Vice Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), TM Luhfi Yazid menilai UU 18/2003 sudah saatnya dirombak. Pasalnya, banyak materi muatan pasal dalam UU 18/2003 telah diuji materi di MK. Selain itu, asas yang harus menjadi patokan adalah lex specialis derogat legi generalis antara UU Advokat dengan KUHP.

“Sudah seharusnya yang mengatur perilaku advokat adalah UU Advokat dan Kode Etik Advokat sendiri. Dalam yuridiksi manapun yang berlaku adalah seperti itu,” kata dia.

Dia mencontohnya adanya keributan antara seorang advokat dengan penyidik di Mapolsek Banyuwangi. Advokat tersebut menyambangi kantor Mapolsek di Banyuwangi dan menabur uang jasa hukum karena penyidik dianggap mengintervensi pada ruang lingkup kerja-kerja advokat. Kasus tersebut semestinya menjadi pelajaran sesama penegak hukum agar memiliki batasan kerja masing-masing.

Oleh karena itulah, batasan ruang kerja sesama penegak hukum harus diperkuat dalam revisi UU 18/2003. Tak hanya itu, hak imunitas advokat haruslah dipertegas dalam revisi UU 18/2003 nantinya. Dengan begitu, harga diri profesi advokat sebagai officium nobile tidak dipandang sebelah mata dan tak diperlakukan diskriminatif. “Ini semua harus diatur dalam revisi UU Advokat,” kata dia.

Menurut Pendiri Japan Indonesia Lawyers Association (JILA) ini organisasi advokat harus memiliki standardisasi sistem semacam Board of Committee yang terdiri dari advokat-advokat pilihan dan memiliki integritas. Mulai kode etik, pendidikan, dan modul pelatihan meskipun terdapat banyak wadah organisasi advokat. “Dengan begitu, semua advokat akan dihargai dan organisasi advokat akan disegani oleh penegak hukum lainnya,” katanya.

Tags:

Berita Terkait