Pemerintah Buka Kemungkinan Penyetoran Pajak Digital dalam Bentuk Dolar
Berita

Pemerintah Buka Kemungkinan Penyetoran Pajak Digital dalam Bentuk Dolar

Bahkan terbuka kemungkinan pennyetoran pajak dilakukan dalam bentuk mata uang lain selain dolar.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

“Bagaimana pemungutan tidak hanya dengan rupiah, dimungkinkan penyetoran dalam bentuk dolar, dan berkembang dalam mata uang yang lain,” katanya pada acara yang sama.

Terkait dengan pengenaan PPh untuk Pajak Transaksi Elektronik (PTE), Suryo menegaskan jika implementasi konsep significant economic presence (SEP) dalam pemungutan pajak digital ini tetap menghormati kesepakatan dalam Tax Treaty (P3B) yang secara umum masih menganut physical presence, termasuk P3B dengan Amerika Serikat. Dengan mendasarkan pada Tax Treaty yang menganut konsep physical presence, kendati telah memenuhi kriteria SEP, Pelaku Usaha Luar Negeri tidak dikenai PPh.

Selain itu, walaupun di dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 diatur mengenai pengenaan Pajak Transaksi Elektronik (PTE) terhadap Pelaku Usaha Luar Negeri karena tidak dapat dikenakan PPh berdasarkan Tax Treaty, Indonesia tidak serta merta akan menerapkan PTE karena menunggu tercapainya konsensus global tentang formulasi hak pemajakan yang adil sebagai suatu solusi jangka panjang yang sedang dibahas di OECD yang dijadwalkan untuk disepakati pada akhir tahun 2020.

Pengamat pajak Fajry Akbar mengatakan bahwa mekanisme marketplace sebagai pemungut PPN adalah mekanisme terbaik, sesuai laporan OECD berjudul "The Role of Digital Platform in The Collection of VAT/GST on Online Sales" yang pada intinya OECD mendorong otoritas Pajak untuk bergantung kepada platform dalam mengatasi kebocoran dalam pemungutan PPN.

Namun di beberapa negara, lanjut Fajry, hal itu ditujukan hanya untuk remote digital service (jasa digital antar negara). Beberapa negara lain juga memasukkan pembelian barang dari luar negeri (tak hanya jasa saja). Sedangkan penjualan domestik melalui marketplace tidak dipungut oleh market place.

“Tapi Kita balik lagi alasan awalnya, yakni risiko kebocoran pemungutan PPN. Apakah penjualan domestik melalui marketplace di indonesia risiko kebocoran pemungutan PPN-nya rendah? Ini yang perlu dijawab dahulu,” katanya kepada Hukumonline.

Terkait mekanisme pemungutan, Indonesia dapat melihat beberapa best practice-nya yang digunakan negara lain. Namun ia mengingatkan bahwa karena mekanisme yang digunakan negara-negara lain berbeda-beda, maka akan membingungkan. Terutama untuk pelaku usaha dari luar negeri.

Idealnya, penerapan PPN untuk PMSE di Indonesia akan bergantung dari risiko kebocoran pemungutan PPN itu sendiri. Sehingga pemerintah dinilai tidak bisa asal mencontek negara lain. Pemungutan juga tak boleh memberatkan secara administrasi, oleh karena itu perlu threshold yang dapat dijadikan sebagai pemungut.

“Kalau transaksi domestik risiko kebocorannya besar, tentunya mekanisme marketplace sebagai pemungut tak bisa dihindari. Hanya saja, dalam praktiknya dibutuhkan partnership yang baik dengan marketplace, jangan sampai administrasinya membebani mereka,” ungkapnya.

Lalu bagaimana jika risikonya rendah? Fajry berpendapat bahwa pemungutan oleh marketplace bisa diberlakukan hanya untuk transaksi antar negara seperti yang dilakukan di beberapa negara maju. “Tapi karena transaksi antar negara, risiko kebocorannya besar. Meski di negara yang kepatuhan WP-nya selama ini tinggi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait