Pemerintah Diminta Genjot Repatriasi Periode Kedua Amnesti
Berita

Pemerintah Diminta Genjot Repatriasi Periode Kedua Amnesti

Agar program amnesti pajak ini berhasil.

Oleh:
ANT/Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Tanda amnesti pajak di suatu kantor. Foto: RES
Tanda amnesti pajak di suatu kantor. Foto: RES
Anggota Komisi XI DPR Nurdin Tampubolon meminta pemerintah menggenjot dana repatriasi pada periode kedua dan ketiga program amnesti pajak. Menurutnya, kendati deklarasi dana pada periode pertama mencapai Rp3.621 triliun, namun jumlah repatriasi masih jauh dari target yakni Rp137 triliun dari rencana Rp1.000 triliun.

"Makanya di periode kedua ini, tax amnesty harus bisa menggenjot repatriasi dana, agar program ini bisa disebut berhasil," ujarnya di Jakarta, Rabu (5/10).

Nurdin menuturkan, pemerintah harus bisa meyakinkan pemilik dana dan pengusaha sehingga timbul keyakinan bahwa program pengampunan pajak bisa berjalan aman dan bukan sebuah jebakan. Dana repatriasi sendiri diharapkan dapat digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek infrastruktur dan sektor riil.

"Selama ini pemerintah katanya butuh dana sekarang untuk bangun infrastruktur. Jadi kalau repatriasi itu banyak, maka bisa diarahkan untuk membiayai infrastruktur sekaligus di-lock (ditahan) dalam waktu yang lama," papar dia.

Walaupun tarif tebusan di periode kedua menjadi 3 persen, Nurdin memperkirakan masih banyak para wajib pajak (WP) besar yang berminat untuk ikut. Namun, selama ini mereka masih enggan melakukan repatriasi sebab masih melihat dulu apakah kondisinya nyaman dan sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau memang masih ada hal-hal yang tidak sesuai dengan UU tersebut.

"Menurut saya, masih akan signifikan lagi WP pengusaha baik yang mau deklarasi sekaligus repatriasi di periode kedua," ujarnya. (Baca Juga: KPK dan Kemenkeu Sepakat Kawal Amnesti Pajak)

Periode pertama amnesti pajak dengan tarif tebusan sebesar 2 persen telah berakhir pada 30 September 2016. Kini, sejak 1 Oktober-31 Desember 2016, dimulai periode kedua dengan tarif tebusan 3 persen atau 6 persen untuk deklarasi luar negeri yang tidak merepatriasi dananya.

Adapun dari deklarasi dana yang mencapai Rp3.621 triliun, sebesar Rp2.533 triliun atau sebanyak 70 persen adalah deklarasi dalam negeri, sedangkan deklarasi luar negeri hanya sebesar Rp951 triliun atau sekitar 26 persen. Sedangkan dana repatriasi sendiri baru mencapai Rp137 triliun atau 4 persen dari total deklarasi.

Sementara itu, senior ekonom Bank Dunia Hans Anand Beck mengapresiasi kebijakan amnesti pajak dinilainya efektif untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Saya mengapresiasi kebijakan pemerintah Indonesia dalam amnesti pajak. Untuk masa mendatang, saya menilai Indonesia perlu mengevaluasi beberapa peraturan agar penerimaan negara menjadi lebih besar dan mampu memperbaiki iklim investasi," katanya.

Pada periode pertama yang berakhir 30 September lalu, tercatat uang tebusan program amnesti pajak telah mencapai Rp97,2 triliun dari target penerimaan negara Rp165 triliun pada akhir periode Maret 2017. (Baca Juga: 7 Informasi Tax Amnesty yang Patut Diketahui Wajib Pajak)

Menurut Hans, Indonesia harus mampu memaksimalkan penerimaan negara yang berasal dari amnesti pajak untuk investasi manufaktur dan infrastruktur, meskipun sektor konsumsi juga tidak boleh luput dari perhatian. Melemahnya permintaan ekspor yang terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia, mengharuskan pemerintah negara-negara berkembang menjadikan sektor konsumsi sebagai salah satu agenda besar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. "Penguatan konsumsi domestik menjadi poin penting," tuturnya.

Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh hingga 5,3 persen pada 2017 dan 5,5 persen pada 2018, seiring dengan stabilnya pertumbuhan ekonomi di Asia Timur dan Pasifik untuk jangka waktu tiga tahun ke depan.

"Di Indonesia, pertumbuhan akan naik secara stabil dari 4,8 persen pada 2015 menjadi 5,5 persen pada 2018," kata Kepala Ekonom Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik, Sudhir Shetty. Prediksi pertumbuhan tersebut, kata dia, sangat bergantung pada ada atau tidaknya kenaikan investasi publik, suksesnya perbaikan iklim investasi, serta kenaikan penerimaan.
Tags:

Berita Terkait