Pemerintah Diminta Konsisten Perketat Ekspor Mineral
Terbaru

Pemerintah Diminta Konsisten Perketat Ekspor Mineral

Dengan dibukanya kran ekspor mineral mentah, malah berpotensi memicu keberadaan pertambangan ilegal.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

Aryanto mengatakan, rencana relaksasi larangan ekspor mineral mentah dilakukan kembali malah akan menambah daftar inkonsistensi pemerintah yang harusnya mempercepat realisasi hilirisasi mineral. Mulai dari terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.20 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Permen ESDM No.7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolalhan dan Pemurnian.

Kemudian Permen ESDM No.5 Tahun 2016 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian, PP No.1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Selanjutnya Permen ESDM No.25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, hingga Permen ESDM No.17 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Total 14 tahun sejak UU Nomor 4 Tahun 2009 diterbitkan, waktu yang diberikan untuk  pemerintah dan pelaku usaha untuk membangun industri hilir. Bahwa sampai hari ini, progress hilirisasi masih belum sesuai target, bukan berarti solusinya adalah kebijakan relaksasi ekspor mineral mentah.” Ujarnya.

Dia menduga, lambannya perkembangan hilirisasi mineral dikarenakan pemerintah terus menerus melakukan pelonggaran. Relaksasi ekspor mineral berdampak pada meningkatnya laju eksploitasi sumber daya alam. Pelonggaran kembali kran ekspor mineral mentah dapat mengacaukan upaya pembenahan dan penataan IUP di Indonesia. Selain itu, mengakibatkan pembukaan lahan hutan yang masif timbulnya praktik pertambangan yang tidak bertanggung jawab. 

Bagi PWYP, Aryanto melanjutkan, dengan dibukanya kran ekspor mineral mentah, berpotensi memicu keberadaan pertambangan ilegal. Menurutnya pertambangan ilegal tak terbatas pada aktivitas yang tidak berizin, melainkan dapat berbentuk perusahaan berizin. Tapi berproduksi di atas kuota atau menambang di luar areal yang diizinkan, atau menjalankan praktik pertambangan yang tidak baik.

Aryanto juga mengingatkan bahwa kebijakan hilirisasi mineral tidak boleh berseberangan dengan tujuan dari transisi energi untuk adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim sekaligus pencapaian Sustainable Development Goals (SDG’s). Yakni mineral bakal makin dibutuhkan untuk kebutuhan transisi energi.

“Bukan berarti menjadi pembenar eksploitasi mineral secara besar-besaran. Prinsip-prinsip transisi energi berkeadilan harus tetap menjadi pedoman dalam implementasinya,” ujarnya.


Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung halus Uni Eropa agar kemitraan yang dilakukan dengan Negara ASEAN didasarkan pada kesetaraan, tidak boleh ada pemaksaan. Utamanya, diharapkan tak ada lagi pihak yang merasa berhak mendikte kedaulatan Negara lain dan menganggap standar yang digunakan Negara mereka lebih baik dari pada kebijakan Negara mitranya.

“Kalau ingin bangun kemitraan yang lebih baik, maka kemitraan harus didasarkan pada kesetaraan, tidak boleh ada pemaksaaan, tidak boleh lagi ada pihak yang selalu mendikte dan selalu menganggap bahwa my standards is better than yours,”  ujar Jokowi dalam gelaran KTT ASEAN-Uni Eropa Partnership di Brussels pada 14 Desember lalu.

Awal 2021 lalu, Uni Eropa pemerintah Indonesia melalui World Trade Organization (WTO) akibat mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel di awal tahun 2020. Akhir November lalu, Indonesia akhirnya diputus kalah dari Uni Eropa terkait gugatan di WTO. Pemerintah Jokowi tak bergeming dengan mengajukan banding.

Tags:

Berita Terkait