Pemerintah Dinilai Gagal Jalankan Amanat UU Penyiaran
Berita

Pemerintah Dinilai Gagal Jalankan Amanat UU Penyiaran

Bila RUU di DPR tidak dikawal ketat, bukan mustahil Indonesia kembali ke sistem penyiaran yang otoriter.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Dinilai Gagal Jalankan Amanat UU Penyiaran
Hukumonline

Amanat UU Penyiaran merupakan demokratisasi penyiaran di Indonesia pasca runtuhnya orde baru. UU Penyiaran yang dikeluarkan pada 2002 tidak memberikan otoritas pengaturan penyiaran kepada pemerintah yang berkuasa, tetapi pada lembaga regulator yang mewakili publik yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Tak hanya membentuk KPI, UU Penyiaran juga membentuk Lembaga Penyiaran Publik (LPP) serta lembaga penyiaran komunitas. Sistem penyiaran pun bersifat desentralisasi. Kendati UU Penyiaran memberikan demokratisasi penyiaran, Dosen FISIP UI Ade Armando menilai pemerintah gagal menjalankan amanat UU Penyiaran.

"Pemerintah tidak menjalankan isi UU Penyiaran," kata Ade dalam sebuah diskusi di Kampus UI Depok, Rabu (11/12/13).

Menurut Ade, pada negara-negara demokratis kewenangan pengaturan penyiaran tidak diserahkan kepada pemerintah yang berkuasa. Bila pemerintah diberi kewenangan mengendalikan, dipercaya bahwa kewenangan tersebut akan digunakan untuk kepentingan kekuasaan. Karena itu, UU Penyiaran mengamandatkan KPI sebagai badan regulator independen.

Tetapi, pemerintah lewat putusan MK memangkas wewenang KPI sebagai badan regulator. Ketua MK yang menjabat pada saat dilakukan judicial review tahun 2004, Jimly Assidhiqie, memutuskan pihak yang memiliki wewenang untuk membuat aturan turunan dari UU Penyiaran atau Peraturan Pemerintah (PP) adalah pemerintah. Bukan KPI bersama pemerintah.

UU Penyiaran juga mengamanatkan sistem siaran berjaringan. Artinya, setiap stasiun televisi yang ingin menyiarkan siaran di suatu daerah, harus mengembangkan jaringan stasiun-stasiun televisi lokal di setiap daerah. Lagi-lagi, amanat UU tidak dijalankan oleh pemerintah. Jaringan televisi swasta menyiarkan langsung siaran ke daerah-daerah tanpa membangun jaringan di daerah.

"Meski UU Penyiaran menjelaskan sistem penyiaran yang desentralistik, ttapi faktanya masih sentralistik. Akibatnya masyarakat daerah berbondong-bondong ke Jakarta karena cuma ingin kerja di stasiun televisi," ungkap Ade.

Tags:

Berita Terkait