Pemerintah Disarankan Perkuat Instrumen Hukum Ketimbang ‘Bangkitkan’ TPK
Utama

Pemerintah Disarankan Perkuat Instrumen Hukum Ketimbang ‘Bangkitkan’ TPK

Seperti memperbaiki hukum acara pidana, MLA, perjanjian ekstradisi dengan negara lain.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

Kemudian soal aset. Menurut Siska, ketika buron Djoko Tjandra kabur ke negara lain bukan tanpa manfaat. Sebab, Djoko Tjandra menjanjikan sesuatu bagi negara tempatnya berlabuh. Apalagi Djoko memiliki segudang investasi dan usaha bagi negara yang mau menampungnya. “Ada manfaat bagi negara penampung, sehingga ada pertarungan dengan Indonesia untuk dapat menarik Djoko Tjandra dari negara penampung.”

Terlepas persoalan instrumen dan perangkat hukum yang ada, pemerintah semestinya memperbaiki akar dari persoalan penegakan hukum yakni hukum acara pidana dan penerapannya.  Selain itu, memaksimalkan kerjasama melalui MLA dan perjanjian ekstradisi, sepanjang politik hukum yang ada di Indonesia pun dalam keadaan stabil.

Koordinator Divisi Kampanye Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter Kaban menilai Indonesia telah memiliki landasan hukum seperti MLA dan perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara. Selama penegakan hukum dilakukan secara serius, kedua instrumen hukum seharusnya diperkuat.

“Sebelum muncul wacana menghidupkan TPK, masalahnya apakah sudah ada evaluasi terhadap instrumen hukum kita? Seperti evaluasi KUHP maupun RKUHP yang menghidupkan pasal zombie. Sama seperti TPK organnya sudah mati suri dan mau dibangkitkan lagi,” kata Lola.

Tak relevan

Lola, begitu biasa disapa, berpandangan TPK merupakan konsep usang. Sebab TPK sudah dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres 5/2004 muncul di era rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Menurutnya, Inpres 5/2004 tak menyebut secara gamblang memberi mandat pembentukan TPK.

Hanya saja sejumlah institusi penegak hukum dan lainnya diminta bantuan mempercepat pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Sebelum KPK berdiri, terdapat banyak pelaku korupsi yang buron. Makanya terdapat celah dan jarak antara hukum yang berlaku bagi KPK serta para pelaku tersangka kasus korupsi. Meski UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor lebih dulu muncul, namun usia KPK saat itu masih terbilang muda.

“Jadi kita paham kenapa TPK saat itu diperlukan. Jadi wajar saat itu KPK bukan aktor utamanya. Jadi kenapa TPK di 2004 sampai 2009 menjadi kontekstual?” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait