Pemerintah Dituntut Segera Tetapkan Wilayah Hutan Adat
Berita

Pemerintah Dituntut Segera Tetapkan Wilayah Hutan Adat

Mekanisme penetapan wilayah hutan adat jangan berbelit.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Dituntut Segera Tetapkan Wilayah Hutan Adat
Hukumonline
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mendesak pemerintah segera menetapkan wilayah hutan adat. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia, Andiko, itu selaras putusan MK No. 35 Tahun 2012 yang intinya mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. Sayangnya, sampai saat ini putusan yang mengakui keberadaan hak masyarakat hukum adat itu belum terimplementasi.

Andiko berharap pemerintah baru nanti mulai melakukan tindakan kongkrit untuk menetapkan keberadaan masyarakat hukum adat, termasuk wilayahnya. Apalagi, hal itu telah tertuang dalam visi dan misi yang diusung Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Setidaknya usai dilantik, dalam 100 hari pertama Jokowi-JK segera mengimplementasikan visi-misinya itu dan merujuk pada putusan MK No. 35 Tahun 2012. Mekanisme penetapan wilayah hutan adat itu diharapkan tidak berbelit.

Pasalnya, Andiko melanjutkan, penetapan itu berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia. Karena secara ekonomis hutan adat mampu menghasilkan berbagai macam komoditas yang integrative, seperti produk kayu atau non kayu. Mengingat Jokowi-JK dalam visi dan misinya ingin menggulirkan ekonomi kerakyatan, maka selaras dengan penetapan wilayah hutan adat. Baginya, ekonomi kerakyatan akan bergerak ketika aset-aset ekonomi dikelola oleh rakyat, salah satunya hutan adat.

“Penetapan hutan adat penting untuk menjamin kepastian hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat atas wilayah/hutannya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat hukum adat. Seperti yang dicita-citakan konstitusi,” kata Andiko dalam jumpa pers di kantor HuMa Jakarta, Jumat (26/9).

Dalam mengidentifikasi hutan adat, Andiko mengatakan HuMa menggunakan beberapa kriteria. Diantaranya, ada masyarakat yang mengelola wilayah tersebut, kelembagaan dan aturan adat disana masih kuat. Kemudian, ada kemungkinan dukungan dari pemerintah setempat dan keinginan masyarakat untuk memperkuat adatnya. Berikutnya, hutan yang dikelola bermanfaat secara ekonomis bagi mereka dan lestari.

Dari kriteria tersebut, HuMa mencatat sedikitnya 13 wilayah yang layak digunakan sebagai percontohan hutan adat. Ketiga belas wilayah itu diantaranya Kampong Muluy (Kalimantan Timur), Nagari Guguak Malalo dan Padang Laweh Malalo (Sumatera Barat). Kemudian, Mukim Lango dan Beungga (Aceh).

Sebagian dari ketigabelas wilayah itu dinilai bisa untuk pembelajaran resolusi konflik. Sebab di wilayah hutan adat itu sudah ada perusahaan yang mengantongi izin mengelola kawasan hutan. Dengan begitu maka dapat dicari solusi bagaimana implementasi putusan MK No.35 Tahun 2012 itu terhadap hutan adat yang sebagian wilayahnya sudah dikelola perusahaan.

Selain itu, HuMa menemukan beberapa wilayah adat seperti di Aceh, Sumatera Barat dan Sulawesi Tengah sudah diakui keberadaannya lewat peraturan daerah, tapi tidak implementatif. Kemudian, ada juga wilayah yang tidak diakui sebagai hutan adat tapi hutan desa atau sejenisnya. Menurut Andiko itu terjadi karena ketika itu belum ada regulasi tentang wilayah hutan masyarakat hukum adat. Oleh karenanya, dibutuhkan solusi yang tepat, mudah dan murah untuk mengatasi persoalan itu.

Andiko menjelaskan, untuk menetapkan kawasan hutan adat dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan peraturan seperti Surat Keputusan Bupati. Tapi untuk skala nasional, Presiden bisa membentuk komisi atau satgas yang memayungi berbagai kementerian terkait untuk mendorong penetapan wilayah hutan adat. Pemerintah pun harus menyiapkan perangkat yang dibutuhkan mulai dari kelembagaan sampai pendanaan. “Jadi Presiden dapat menentukan proses untuk pengakuan wilayah masyarakat hukum adat secara murah, mudah dan fleksibel,” tukasnya.

Peneliti HuMa, Widiyanto, mengatakan dari analisa HuMa, perdebatan soal implementasi putusan MK No.35 Tahun 2012 mengerucut pada peran pemerintah daerah untuk penetapan wilayah hutan masyarakat hukum adat. Tiga belas wilayah yang diteliti HuMa itu menurut Widiyanto punya modal yang kuat untuk ditetapkan sebagai wilayah hutan adat.

Apalagi keberadaan masyarakat hukum adat di sebagian wilayah itu sudah diakui pemerintah setempat lewat Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan Kepala Daerah. Misalnya, Perda Kabupaten Morowali No.13 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Tau Taa Wana dan SK Bupati Luwu Utara No.300 Tahun 2004 tentang Keberadaan Masyarakat Adat Seko.

“Itu akan kami jadikan contoh agar pemerintah segera menetapkan wilayah hutan adat sebagai konsekuensi hukum berlakunya putusan MK No.35 Tahun 2012,” papar Widiyanto.

Mengacu advokasi yang dilakukan HuMa, Widiyanto menjelaskan untuk mengimplementasikan putusan MK itu tidak sulit. Yang penting bagaimana pemangku kepentingan seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah duduk dalam satu forum untuk membahas hal tersebut.

Atas dasar itu HuMa akan menggelar dialog nasional yang mengundang bermacam pihak terkait mulai dari unsur pemerintah, masyarakat hukum adat dan organisasi masyarakat sipil. Dialog yang akan berlangsung 1-2 Oktober 2014 di Jakarta itu nantinya membahas implementasi putusan MK No. 35 Tahun 2012 dalam rangka penetapan wilayah hutan masyarakat hukum adat.
Tags:

Berita Terkait