Pemerintah Jelaskan Rasionalitas Larangan Terpidana Nyalon Kepala Daerah
Berita

Pemerintah Jelaskan Rasionalitas Larangan Terpidana Nyalon Kepala Daerah

Pemerintah minta agar permohonan ini ditolak seluruhnya.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Pemerintah menyatakan muatan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada terkait syarat calon kepala daerah tidak sedang berstatus terpidana tindak pidana apapun, kecuali bagi mantan terpidana diharapkan bisa menjaring calon kepala daerah yang memiliki integritas moral dan memiliki kapabilitas. Hal ini juga berlaku bagi syarat calon pejabat publik lain guna mendapatkan pemimpin yang memiliki rekam jejak atau track record yang baik.

“Ini persyaratan standard bagi seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah (jabatan politik) dan jabatan publik tertentu,” ujar Kepala Biro Hukum Kemendagri W. Sigit Pudjianto saat mewakili Pemerintah memberikan pandangan dalam sidang pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang dimohonkan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie di Gedung MK, Kamis (13/10).

Persidangan ini, ada tiga pihak terkait yakni bakal calon gubernur Gorontalo dan tim pemenangannya, serta Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu Perludem, ICW, KoDe Inisiatif, seorang warga Gorontalo Fanly Katili menjadi Pihak Terkait yang kontra dengan dalil permohonan ini.

Pasal 7 ayat (2) huruf g intinya menyebutkan calon kepala daerah harus memenuhi syarat tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Sigit menegaskan ketentuan syarat tidak pernah sebagai terpidana ditujukan agar jabatan politik atau publik hanya boleh dipegang oleh orang-orang yang bersih dan memiliki track record yang baik. “Intinya, kita tidak ingin kepala daerah terpilih bukanlah dari latar belakang orang yang kurang terpuji karena melakukan tindak pidana. Ini agar integritas kepribadian kepala daerah terpilih benar-benar terjaga,” tegasnya.     

“Jangankan yang akan menjadi pejabat publik, yang sedang menjabat saja bisa dimakzulkan, di-recall, atau diberhentikan jika dijatuhi pidana penjara,” kata Sigit melanjutkan.

Dia menerangkan muatan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada sejalan dengan putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 jo putusan No. 51/PUU-XIV/2016 yang mensyaratkan calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana. Bagi mantan terpidana ditetapkan syarat tambahan yakni mengumumkan kepada masyarakat luas bahwa dirinya pernah menjadi terpidana.

Lagipula, kata dia, Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada merupakan open legal policy pembuat Undang-Undang (UU) yang tidak dapat diuji, kecuali praktiknya dilakukan sewenang-wenang atau melampaui batas kewenangan pembentuk UU. “Menyatakan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf g, Pasal 163 ayat (7) dan (8), Pasal 164 ayat (7) dan (8) UU Pilkada seharusnya ditolak seluruhnya,” harapnya.

Permohonan ini diajukan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie yang mempersoalkan beberapa pasal khususnya Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada. Rusli, yang saat ini berstatus terpidana percobaan gara-gara menghina/memfitnah mantan Kabareskrim Polri Budi Waseso, hendak mencalonkan kembali dalam Pemilihan Gubernur Gorontalo pada Pilkada 2017 (petahana).

Rusli divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Gorontalo pada awal Agustus 2016 hingga putusan kasasi. Rusli dihukum selama pidana 1 tahun penjara dengan masa  percobaan 2 tahun karena dianggap terbukti melakukan fitnah sesuai dakwaan Pasal 317 ayat (1) subsider Pasal 311 KUHP jo Pasal 316 KUHP.

Menurutnya, norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bernuansa ‘kriminalisasi’ dan membatasi hak pilih seseorang dengan motivasi persaingan politik semata. Padahal, seseorang dilarang mencalonkan diri jika haknya dicabut oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Baginya, jika Pasal 7 ayat (2) huruf g ini diberlakukan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi Pemohon.

Khawatir pencalonannya terganjal, Rusli meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada dinyatakan inkonstitusional bersyarat yang dimaknai tidak pernah sebagai terpidana dalam perkara yang ancaman hukumannya minimal 5 tahun. Atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Tags:

Berita Terkait