Pemerintah Mengaku Kesulitan Mendata PHK
Berita

Pemerintah Mengaku Kesulitan Mendata PHK

Karena ada proses yang harus dilalui sebelum PHK.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Mengaku Kesulitan Mendata PHK
Hukumonline
Hubungan yang terjalin antara perusahaan dan pekerja tidak selamanya harmonis. Kadang terjadi perselisihan yang ujungnya bisa diselesaikan atau malah berlanjut hingga ada pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, PHK tidak terjadi begitu saja.

Dirjen PHI dan Jamsos Kementerian Ketenagakerjaan, Haiyani Rumondang, menjelaskan pengusaha yang ingin melakukan PHK terhadap pekerjanya harus menjalankan proses itu sesuai aturan, misalnya sesuatu UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Haiyani mengatakan Kemenaker melakukan pemantauan terhadap kasus kasus ketenagakerjaan yang bisa mengarah pada PHK. Salah satu pemantauan itu dilakukan dengan mengamati pemberitaan di media. Setelah mendapat informasi pihak Kemenaker langsung melakukan cek ke lapangan. Jika lokasi di luar jangkauan Kemenaker meminta bantuan dinas ketenagakerjaan setempat.

Jika memungkinkan Kemenaker mengundang perusahaan yang diindikasikan melakukan PHK dan meminta klarifikasi. Klarifikasi secara langsung itu telah dilakukan terhadap beberapa perusahaan yang belakangan ini marak diberitakan seperti PT Ford Motor Indonesia, Toshiba dan Panasonic.

Dalam proses klarifikasi itu Kemenaker biasanya melontarkan sejumlah pertanyaan kepada perusahaan. Misalnya, apakah benar terjadi PHK dan apa penyebab terjadinya PHK. Haiyani mengingatkan pengusaha tidak bisa langsung melakukan PHK karena ada proses yang wajib dilaksanakan. Selama proses itu berjalan masing-masing pihak baik pekerja dan pengusaha harus menunaikan hak dan kewajibannya sampai ada penetapan PHK.

Mengingat ada proses menuju PHK, Haiyani menyebut pihaknya tidak mudah mengidentifikasi data PHK. Misalnya, ada perusahaan yang masih dalam proses melakukan PHK terhadap ribuan pekerjanya. Selama proses itu belum selesai Kemenaker menilai data itu belum bisa dimasukan dalam kategori PHK. Itu yang menyebabkan perbedaan data PHK antara Kemenaker dengan pihak lain seperti serikat pekerja.

Kemenaker mencatat jumlah PHK di tahun 2014 mencapai 77 ribu dan 2015 sebanyak 48 ribu orang. Periode Januari-Februari 2016 ada 1.565 pekerja yang mengalami PHK. “Kami kewalahan mendata kasus PHK, datanya rumit, apalagi tidak mudah mengambil langsung jumlah pekerja yang mengalami PHK yang prosesnya masih berjalan,” kata Haiyani dalam diskusi di Jakarta, Kamis (25/2).

Kesulitan mendata PHK bukan saja dialami Kemnkaer tapi juga dinas ketenagakerjaan di daerah. Haiyani menyebut dinas ketenagkerjaan tidak mampu mengidentifikasi jenis PHK dari data PHK yang mereka terima. Apakah PHK karena relokasi atau miss manajemen.

Namun, apapun alasan PHK Haiyani mengimbau kepada pekerja dan pengusaha agar menghindari PHK. Itulah sebabnya peraturan yang ada menetapkan syarat bagi pihak yang menginginkan terjadinya PHK. Mulai dari proses perundingan bipartit, tripartit sampai pengadilan. “Kami imbau kepada pekerja dan pengusaha agar menghindari PHK. Mempertahankan hubungan kerja dengan cara musyawarah dan mufakat itu lebih baik,” tegasnya.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, menilai UU No. 2 Tahun 2004 berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Dalam UU No. 22 Tahun 1957 ada P4D dan P4P yang bersifat quasi yudisial sehingga pemerintah masih berperan dalam proses penyelesaian hubungan industrial seperti PHK. UU No. 2 Tahun 2004 cenderung menghapus peran pemerintah dan memberikan kewenangan kepada yudikatif.

Kewenangan pemerintah dalam proses penyelesaian hubungan industrial, kata Timboel, memudahkan pemerintah dalam mencatat kasus PHK. Sebab penanganan kasus PHK masih jadi ranah P4D (dinas tenaga kerja di daerah) dan P4P (Kemenaker). Saat ini penetapan PHK dilakukan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang berada di lingkungan Mahkamah Agung, maka Kemenaker akan lebih sulit mendapat data faktual PHK.

Jika Kemenaker memperoleh data PHK dari Dinas Tenaga Kerja, data itu mungkin bias karena masih dalam tahap proses mediasi sehingga belum berkekuatan final dan mengikat. Sekalipun proses bipartit antara pekerja dan pengusaha menyepakati PHK maka perusahaan dan pekerja tidak punya kewajiban untuk mencatatkan ke dinas tenaga kerja di daerah tapi ke PHI.

Timboel mengingatkan, Kemenaker dan dinas tenaga kerja bisa memiliki data PHK jika mampu mengoptimalkan UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan. “Pasal 6 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1981 memungkinkan Menteri mewajibkan seluruh perusahaan melaporkan jumlah pekerjanya termasuk pekerja yang mengalami proses PHK atau pun sudah PHK,” urainya.

Selain itu cara lain yang bisa dilakukan Kemenaker untuk mendapat data PHK yang baik dengan cara menjalin MoU atau kerjasama dengan MA. Sehingga Kemenaker bisa mengakses data PHK yang ada di MA dan PHI.
Tags:

Berita Terkait