Pemerintah Putuskan Kewenangan Pertanahan Dikembalikan Lembaga Terkait
Berita

Pemerintah Putuskan Kewenangan Pertanahan Dikembalikan Lembaga Terkait

Pemerintah mengganti konsep Single Land Administration System tersebut ke dalam satu sistem penyelaras yakni Sistem Sinkronisasi Informasi Tanah, Wilayah dan Kawasan di sejumlah kementerian terkait.

Oleh:
Agus Sahbani/ANT
Bacaan 2 Menit

 

Dalam RUU pertanahan tersebut akan ada beberapa pasal menggantikan sejumlah peraturan di UU Pokok Agraria Tahun 1960 yang dinilai sudah terlalu lama. Salah satu pasal baru dalam RUU pertanahan itu adalah pembentukan Lembaga Pengelolaan Tanah (Bank Tanah) untuk mengintegrasikan pengelolaan tanah negara yang selama ini diatur di masing-masing kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L).

 

Sofyan mengatakan Lembaga Pengelolaan Tanah, yang mengelola informasi soal batas lahan, hak guna tanah, dan izin, akan dikoordinasi di bawah Kementerian ATR atau Badan Pertanahan Nasional (BPN). "Dengan begitu, nanti kita akan tahu siapa yang punya izin, siapa yang punya hak, siapa yang batas, siapa yang punya konsesi; nanti akan sinkron semuanya. Itu akan membantu sekali untuk upaya penataan dalam rangka sinkronisasi one map policy," kata dia.

 

Lembaga Pertanahan Nasional akan dibentuk setelah RUU pertanahan disahkan menjadi undang-undang yang kemudian diturunkan menjadi peraturan pemerintah. Draf RUU Pertanahan yang telah disepakati pemerintah itu akan dibawa ke DPR untuk dibahas hingga disahkan menjadi undang-undang sebelum masa jabatan anggota DPR 2014-2019 berakhir pada September.

 

Sebelumnya, Anggota Panitia Kerja RUU Pertanahan DPR RI Abdul Hakam Naja meminta pemerintah untuk sepakat dengan K/L agar draf RUU tersebut dapat segera disepakati menjadi undang pada September atau sebelum masa tugas anggota sekarang berakhir.

 

Namun, RUU Pertanahan pernah mendapat kritikan dari masyarakat sipil. Salah satunya dari Korsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Sekjen KPA Dewi Kartika menilai sejumlah ketentuan dalam RUU Pertanahan saling bertentangan dan inkonsisten. Misalnya, dalam konsideran RUU Pertanahan mengakui pentingnya reforma agraria. Tapi dalam substansinya, tidak ada ketentuan yang menjamin pemenuhan atas tanah bagi petani, buruh tani, nelayan, masyarakat hukum adat, dan masyarakat miskin.

 

Reforma agraria yang diatur dalam RUU Pertanahan, menurut Kartika belum jelas tujuannya. Dia khawatir praktiknya nanti menyimpang dari reforma agraria sejati sebagaimana diamanatkan UU No.5 Tahun 1960. “Tidak ada ketentuan dalam RUU Pertanahan yang menjelaskan reforma agraria sebagai bagian penyelesaian konflik agraria,” tegasnya.

 

Bagi Kartika, penting untuk memposisikan reforma agraria sebagai bagian penyelesaian sengketa pertanahan. Pengaduan yang masuk ke KPA sampai saat ini ada sekitar 2.700 kasus. Penyelesaian konflik ini harus menjadi perhatian utama sebelum menggulirkan wacana pembentukan pengadilan pertanahan. Kartika yakin masyarakat dalam posisi lemah jika sengketa ini diselesaikan melalui mekanisme peradilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait