Pemerintah Tegaskan Tak Hapus Instrumen Amdal dalam UU Cipta Kerja
Utama

Pemerintah Tegaskan Tak Hapus Instrumen Amdal dalam UU Cipta Kerja

Karena keberadaannya diatur Pasal 1 angka 11 UU Cipta Kerja yang menyebutkan Amdal adalah kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan penyelenggaraan usaha.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Berdasarkan ketentuan lama, izin lingkungan terpisah dari perizinan berusaha. Apabila ada pelanggaran dan dikenakan sanksi pencabutan izin, yang dicabut hanya izin lingkungan, izin usahanya tetap jalan (berlaku). Tapi, di UU Cipta Kerja, izin lingkungan terintegrasi dengan perizinan berusaha, apabila ada pelanggaran dan dikenakan sanksi pencabutan izin, yang dicabut sekaligus termasuk perizinan berusahanya.

Persetujuan lingkungan menjadi dasar penerbitan Perizinan Berusaha sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. Pasal 24 (ayat 1-6) UU Cipta Kerja menyebutkan, dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup. Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup berdasarkan hasil uji kelayakan lingkungan hidup. Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (ada Amdal) sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

Sementara Pasal 37 UU Cipta Kerja menjelaskan, Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup; Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup; atau kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Penolakan ICEL

Sebelumnya, penolakan datang dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Sebab, berdasarkan kajian ICEL berjudul “Berbagai Problematika Dalam UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan Sumber Daya Alam” tertanggal 6 Oktober 2020, disimpulkan UU Cipta Kerja dalam implementasinya berpotensi melemahkan instrumen perlindungan lingkungan hidup, hak-hak masyarakat, dan memberikan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan hidup.

Berdasarkan analisis yang dilakukan ada beberapa temuan terhadap masalah dan potensi masalah (negatif) yang lebih banyak dibandingkan temuan positif.  

1. Berkaitan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, permasalahan utama adalah direduksinya hak masyarakat atas akses mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, baik itu hak atas informasi, hak atas partisipasi, serta hak atas keadilan. Selain itu, terdapat kesalahan konsep dalam perumusan strict liability (tanggung jawab mutlak) yang dapat berakibat sulitnya menjalankan konsep tersebut. Penghapusan pengecualian larangan membakar bagi masyarakat peladang tradisional berpotensi terjadinya kriminalisasi dan pemindahan beban pertanggungjawaban.

2. Berkaitan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, permasalahan utama dihapusnya luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan/atau pulau (Pasal 18 ayat 2 UU Cipta Kerja). Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan juga tidak lagi “didasarkan”, melainkan hanya “mempertimbangkan” penelitian terpadu. Selain itu, terdapat pengecualian bagi masyarakat adat yang memanfaatkan hutan di kawasan hutan asalkan telah 5 tahun berturut-turut memanfaatkannya dan terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan.

3. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, permasalahan utama terdapat pada perumusan sanksi administrasi dan pidana yang kurang tepat.

4. Berkaitan UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, permasalahan utama terdapat pada berbagai ketentuan dasar yang sebelumnya didetailkan dalam UU itu, kemudian dihapus dan diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah. Di satu sisi, kekuatan PP tentu lebih lemah dari UU karena tidak dapat memberi sanksi pidana apabila kewajiban yang diatur tidak dipenuhi. Di sisi lain, penilaian atas perubahan tersebut juga tidak dapat dilakukan sekarang karena masih harus menunggu PP tersebut terbit.

5. Berkaitan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, permasalahan utama dilemahkannya posisi tata ruang sebagai salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Dalam UU Cipta Kerja, berbagai ketentuan dalam penataan ruang “dilonggarkan” untuk mengakomodasi kebijakan nasional yang bersifat strategis, lingkup kebijakan nasional strategis ini juga tidak dijelaskan.

Tags:

Berita Terkait