Pemerintah Usul Ancaman Pidana Pencemaran Nama Baik ITE di Bawah 5 Tahun
Berita

Pemerintah Usul Ancaman Pidana Pencemaran Nama Baik ITE di Bawah 5 Tahun

Pelaku tidak perlu ditahan di tingkat penyidikan. Menghapus Pasal 27 ayat (3) UU ITE tak berarti. Perlu diatur ancaman minimal agar tetap ada efek jera.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Revisi UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) tengah masuk pembahasan di DPR. Pemerintah mengusulkan dalam RUU ITE ancaman sanksi bagi pelaku pencemaran nama baik melalui elektronik diturunkan.  

“Pemerintah usulkan turunkan 6 tahun menjadi di bawah 5 tahun, jadi 4 tahun serta denda Rp700 juta,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara di Gedung DPR, Senin (14/3).

Pasal27 ayat (3) UU ITE kerap mengancam masyarakat yang diduga melakukan pencemaran nama baik melalui elektronik. Kasus yang sempat merebak adalah Prita Mulyasari melalui surat elektronik mengkritik salah satu rumah sakit tempatnya berobat.  Apalagi ancaman hukuman pencemaran nama baik melalui elektronik cukup tinggi, 6 tahun. Nah, terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan itu dapat dilakukan penahanan di tingkat penyidikan lantaran ancaman hukuman di atas 5 tahun.

Menurut Rudiantara, banyaknya kasus pencemaran nama baik melalui surat elektronik menjadi perhatian masyarakat. Masyarakat tidak lagi bebas mengekpresikan tulisan bernada kritikan. Sebab boleh jadi dapat dikategorikan pencemaran nama baik ketika pihak yang tercemar nama baiknya melaporkan ke pihak kepolisian.

“Supaya netizen tidak khawatir dengan Pasal 27 ayat (3). Dari penegak hukum, masyarakat netizen merasakan bisa memanfaatkan internet dengan efektif,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, Pasal 27 atar (3) menyatakan, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Dikatakan Rudi, penerapan Pasal 27 ayat (3) di tengah masyarakat menuai penolakan. Pasalnya dapat membelenggu kebebasan berekspresidi dunia maya. Menurutnya dengan tidak menghapus pasal tersebut dan menurunkan ancaman pidana menjadi jalan tengah agar masyarakat tetap waspada meluapkan eksperesinya di dunia maya. Menurutnya pencemaran nama baik mengacu pada Pasal 310 dan 311 KUHP agar terukur.

Anggota Komisi I DPR, Ervinta Susanti, berpandangan perlunya delik aduan yang didorong masuk regulasi. Sebab pasal pencemaran nama baik masih bersifat multi tafsir. Dengan begitu acapkali adanya penindakan dari penegak hukum tanpa adanya aduan dari pihak korban yang tercemar nama baiknya. Menurutnya, perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam UU ITE, dinilai pasal karet.

“Sehingga multi tafsir dan ancaman kebebasan berekspresi. Perlu diatur ancaman hukuman sehingga orang tidak bisa dihukum atas pencemaran. Tetapi harus ada hukuman minimium agar ada efek jera,” ujarnya.

Anggota Komisi I lainnya, Salim Mengga berpandangan UU ITE mestinya dapat dijadikan panduan dalam pemberian perlindungan terhadap masyarakat. Sebaliknya, UU ITE khususnya Pasal 27 ayat (3) membelenggu kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat di dunia maya.

“UU ITE belum bisa mendeliver kritik. Hukum dibuat bukan untuk mengekang kebebasan, tetapi menjamin kebebasan dengan tidak melukai orang lain,” katanya.

Effendi Simbolon menambahkan banyaknya tuntutan masyarakat agar dihapusnya Pasal 27 ayat (3) mesti dipertimbangkan. Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menilai masih banyak pula masyarakat yang tidak mempersoalkan keberadaan pasal tersebut. Dengan mengurangi ancaman hukuman pidana pencemaran nama baik seolah pemerintah mengakomodir masyarakat yang menolak Pasal 27 ayat (3).

“Padahal ini kejahatan yang tidak ada maafnya. Jangan sampai Pasal 27 ayat (3) ini hilang, maka tidak ada artinya UU ITE ini,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait