Pemohon Uji UU Perkawinan Urung Minta Penghapusan Pasal
Utama

Pemohon Uji UU Perkawinan Urung Minta Penghapusan Pasal

RPH akan memutuskan apakah permohonan ini berlanjut ke sidang pleno atau tidak.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Damian Agata Yuvens, pemohon pengujian UU Perkawinan terkait pernikahan beda agama. Foto: Humas MK
Damian Agata Yuvens, pemohon pengujian UU Perkawinan terkait pernikahan beda agama. Foto: Humas MK
Sidang lanjutan permohonan uji materi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan seorang mahasiswa hukum dan empat alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) digelar. Dalam sidang itu, pemohon mengajukan enam poin perbaikan permohonan sesuai masukan majelis dalam persidangan sebelumnya.

“Kami sudah melakukan perbaikan ada enam hal pokok yang diperbaiki,” ujar salah satu pemohon, Damian Agata Yuvens, di ruang sidang MK, Rabu (17/9).

Damian mengungkapkan beberapa materi perbaikan itu. Pertama, terdapat perubahan pemohon dimana Varida Megawati Simarmata tidak lagi dimasukkan dalam berkas permohonan. Kedua, pemohon memutuskan untuk tidak hanya mengajukan uji materil, tetapi juga uji formil atas UU Perkawinan itu. Ketiga, pemohon mengelaborasi Pancasila Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan terutama dalam pelaksanaan kawin beda agama.

“Keberadaaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam perkawinan itu sendiri dikaitkan dengan kedudukan negara di bidang perkawinan. Kami juga memasukkan perbandingan sistem ketatanegaraan yang diminta (di bidang perkawinan),” ujar Damian.

Keempat, perbaikan yang terpenting, kata Damian, pemohon mengubah petitum (tuntutan) permohonan yang semula meminta menghapus Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menjadi meminta pemaknaan baru pasal itu dengan cara MK memberi tafsir konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). 

Merujuk pada resume perkara nomor 68/PUU-XII/2014 yang diunduh dari laman www.mahkamahkonstitusi.go.id, awalnya petitum para pemohon adalah “Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

“Kami ingin bunyi pasal itu, ‘Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu sepanjang dimaknai penafsiran hukum agama dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai,” pintanya.

Kelima, pemohon juga memasukkan uraian dampak apabila frasa ini dimaknai ulang oleh MK. Terakhir, pemohon mengaku telah memasukkan dan mengelaborasi potensi kerugian konstitusional khususnya pada bagian keberagamaan (agama) dan tingkat mobilitas penduduk Indonesia.

Ketua majelis hakim konstitusi, Wahiddudin Adam mengingatkan pemohon agar permintaan uji formil tidak perlu dimasukkan dalam permohonan. Sebab, masa tenggang waktu pengujian formil terkait proses pembentukkan UU Perkawinan ini sudah lewat jauh. Sesuai putusan MK, tenggang waktu pengujian formil ditentukan maksimal 45 hari sejak terbitnya undang-undang yang dipersoalkan, seperti pemohon pengujian KUH Perdata yang sudah menarik permohonannya.

“Untuk materi yang lainnya bisa kita terima, nanti permohonan ini akan kita laporkan dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH). Nantinya, RPH akan memutuskan apakah permohonan ini perlu dilanjutkan dalam sidang pleno atau tidak,” ujar Wahid menjelaskan.

Usai persidangan, Damian enggan memberikan komentar kepada sejumlah awak media dengan alasan akan berkoordinasi dulu dengan pemohon lainnya. “Maaf kita tidak bisa komentar dulu, kita harus koordinasi dengan humas pengujian undang-undang ini,” ujar Damian. 

Bukan Personal
Namun, berdasarkan siaran pers dari pemohon yang diterima hukumonline, permohonan ini tidak ditujukan untuk melangkahi hukum agama, tetapi memperbaiki posisi negara dalam konstelasi hukum perkawinan.

“Saya dan para pemohon tidak sedang menjalani hubungan berbeda agama saat ini. Permohonan ini bukan bersifat personal, tetapi murni keresahan kami terhadap sebuah policy yang kami anggap multitafsir dan melanggar hak warga negara,” ujar Damian dalam keterangan persnya.

Damian beranggapan rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dapat ditafsirkan berbeda oleh setiap orang. Menurutnya, pernikahan warga negara yang berbeda agama atau warga negara yang agamanya diakui dan tidak diakui berpotensi menimbulkan persoalan menyangkut keabsahan perkawinan itu. Implikasinya, pernikahan yang dianggap tidak sah bisa berdampak pada anak yang tidak memiliki akta lahir atau surat-surat lainnya.

“Pasal 2 ayat (1) secara implisit menyiratkan hanya warga negara yang agamanya diakui di Indonesia yang bisa mendapat kepastian hukum. Bagaimana dengan agama Parmalim, Hindu Kaharingan, atau Baha’i yang baru diakui Menteri Agama? Inilah saatnya urusan administratif (oleh negara) tidak diintervensi (dicampuradukkan) dengan urusan agama.”

Tags:

Berita Terkait