Pemulihan Lingkungan yang Rusak dalam Catatan Seorang Hakim Agung
Resensi:

Pemulihan Lingkungan yang Rusak dalam Catatan Seorang Hakim Agung

Buku ini bukan saja memuat gagasan penting pemulihan lingkungan hidup, tetapi bagaimana nurani seorang hakim tergerak membela kepentingan yang lebih besar.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi cover buku: YUSUF
Ilustrasi cover buku: YUSUF

Daftar perusahaan yang dihukum membayar ganti rugi akibat kerusakan lingkungan hidup terus bertambah. Negara, melalui Kementerian Lingkungan Hidup, telah mengajukan gugatan perdata terhadap perusahaan yang dinilai bertanggung jawab atas kebakaran lahan, khususnya lahan gambut, dan banyak yang dikabulkan pengadilan. Dalam beberapa kasus, majelis tidak hanya menjatuhkan ganti rugi, tetapi juga mengharuskan perusahaan membayar biaya pemulihan lingkungan.

Data yang diperoleh hukumonline, misalnya, menunjukkan bahwa sepanjang periode 2015-2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengajukan 29 gugatan perdata; dan 15 perkara sudah berkekuatan hukum tetap. Dari belasan putusan itu, total ganti rugi dan pemulihan yang dijatuhkan pengadilan mencapai 19,8 triliun rupiah. Pencapaian hasil itu tidak mudah membalik telapan tangan. Masing-masing lembaga dalam sistem penegakan hukum berperan: penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) KLHK, kepolisian, kejaksaan, dan peradilan.

Dalam konteks proses hukum di pengadilan, hakim memegang peran kunci. Dalam Refleksi Akhir Tahun 2021, Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, mengungkapkan pentingnya kapasitas hakim yang menangani perkara lingkungan hidup. Hingga kini, sudah ada 858 hakim bersertifikat lingkungan hidup. Ia optimis bukan saja karena jumlah hakim bersertifikat lingkungan hidup terus bertambah, tetapi juga pemahaman terhadap tanggung jawab atas lingkungan semakin besar. Misalnya, pemahaman hakim terhadap in dubio pro natura dan strict liability.

Buku ‘Peradilan Perkara Perdata Lingkungan Hidup, Solusi Penyeegeraan Pemulihan Lahan Gambut yang Rusak Akibat Pembakaran” (2021) bisa jadi merefleksikan harapan Rasio Ridho Sani tentang peran hakim. Penulis buku ini, Hamdi, adalah hakim karir yang sejak bertugas di Pengadilan Negeri hingga kini menjadi Hakim Agung beberapa kali menangani perkara lingkungan hidup. Meskipun buku ini berasal dari disertasinya, pandangannya sebagai hakim patut digarisbawahi. Ia pertama kali menghadapi, memeriksa, dan memutus perkara lingkungan hidup pada 1999, ketiga bertugas di Pengadilan Negeri Bangkinang. Saat di mana ia mengaku sebagai hakim ‘yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam hal hukum lingkungan hidup’ (Hal. 18).

Dari kasus pidana lingkungan hidup itulah Hamdi belajar dan berusaha memahami banyak hal, termasuk menghadirkan ahli Prof. Muladi dan Bambang Heru Sahardjo ke ruang sidang. Hamdi menuturkan pengalamannya: “Sebagai hakim karir dan sebagai seorang intelektual di bidang hukum, perkara ini benar-benar membuka mata penulis sebagai seorang praktisi hukum terhadap masalah-masalah lingkungan. Perkara ini penulis hayati sebagai kesempatan untuk menghadapi sebuah tantangan besar tetapi mulia. Tidak semua hakim berkesempatan menangani perkara yang menyangkut kemaslahatan hidup orang banyak seperti lingkungan hidup” (Hal. 25).

Putusan Hamdi, yang menghukum General Manager perusahaan perkebunan, menuai pro kontra, bahkan menjadi perbincangan dalam dialog publik. Meskipun putusannya kemudian dianulir hakim yang lebih tinggi, Hamdi telah menjalankan panggilan hati nuraninya sebagai hakim. “Nurani kemanusiaan yang terpanggil, mendorong kemauan dan selanjutnya kemampuan untuk membuat keputusan yang pro lingkungan,” tulis Hamdi dalam buku setebal 458 halaman ini (Hal. 39).

Hukumonline.com

Penjelasan penulis tentang apa dan mengapa buku ini ditulis mengantarkan pembaca bukan saja kepada tergugahnya ‘nurani’ seorang hakim saat menangani perkara-perkara lingkungan hidup, tetapi juga menyajikan problem lain yang muncul setelah hakim menjatuhkan putusan. Apalagi kalau bukan pemulihan lingkungan, khususnya lahan gambut. Putusan hakim tidak mungkin mengembalikan kondisi lahan gambut kembali seperti sediakala, sebagaimana sebelum dibakar. Tetapi putusan hakim telah memberikan kepastian hukum dan jaminan agar hukum ditegakkan, agar lingkungan yang sudah rusak dipulihkan.

Tags:

Berita Terkait