Penanganan Terorisme Harus Berpijak pada Dua Hal Ini
Utama

Penanganan Terorisme Harus Berpijak pada Dua Hal Ini

DPR mengimbau pemerintah untuk melaksanakan amanat UU ini sebaik-baiknya sesuai kebutuhan yang sudah diputuskan bersama.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Rapat paripurna pengesahan RUU Terorisme menjadi UU di Gedung Parlemen, Jum'at (25/5). Foto: RES
Rapat paripurna pengesahan RUU Terorisme menjadi UU di Gedung Parlemen, Jum'at (25/5). Foto: RES

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengapresiasi langkah DPR yang telah mengesahkan Rancangan UU (RUU) Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang pada Jumat (25/5) kemarin.   

 

Hal terpenting UU Terorisme terbaru ini harus dijalankan secara hati-hati dengan memastikan penanganan terorisme tetap berada dalam koridor penegakan hukum (criminal justice system) dan perlindungan/penghormatan hak asasi manusia (HAM). “Mendorong agar pengesahan UU Anti Terorisme ini harus tetap menjadikan instrumen HAM sebagai pijakan,” ujar salah satu anggota Koalisi dari PBHI, Julius Ibrani dalam keterangan tertulisnya, Jum’at (25/5/2018).

 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan ini terdiri dari Imparsial, KontraS, ELSAM, HRWG, LBH Pers, Lesperssi, ICW, SETARA Institute, YLBHI, LBH Jakarta, ILR, ICJR, INFID, PBHI.

 

Bagi Koalisi, perlindungan terhadap hak asasi merupakan esensi dari konsep keamanan itu sendiri (human security). Artinya, upaya menjaga keamanan tidak boleh menegasikan esensi keamanan itu sendiri yakni melindungi/menjamin hak-hak asasi manusia. Dalam menyusun kebijakan antiterorisme, negara harus memenuhi kewajibannya menempatkan perlindungan terhadap liberty of person dalam titik perimbangan yang permanen dengan perlindungan terhadap security of person

 

Praktik penanggulangan terorisme yang eksesif di banyak negara yang menegasikan HAM justru menjadi katalis yang mendorong aksi terorisme itu sendiri. Karena itu, penanganan terorisme dalam sistem demokrasi dan negara hukum harus tetap berada dalam mekanisme due process of law.

 

“Kurang tepat jika ada pandangan HAM perlu dinegasikan dalam kebijakan penanganan terorisme. Justru dengan mekanisme due process of law yang menghormati HAM-lah yang akan memberi rambu-rambu dasar dalam penanganan terorisme yang lebih efektif,” dalihnya. 

 

Dalam konteks itu, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme saat ini sebenarnya belum diperlukan karena institusi penegak hukum masih mampu menangani aksi terorisme yang ada. Pelibatan TNI baru diperlukan ketika kondisi ancaman sudah kritis dan institusi penegak hukum sudah tidak dapat menanganinya. Terlebih, pengerahan dan penggunaan Koopsussgab saat ini belumlah dibutuhkan mengingat dinamika ancaman terorisme di Indonesia sesungguhnya masih dapat ditangani oleh institusi penegak hukum.

Tags:

Berita Terkait