Pencabutan Hak Politik Terdakwa Kasus Korupsi di Mata Penegak Hukum
Fokus

Pencabutan Hak Politik Terdakwa Kasus Korupsi di Mata Penegak Hukum

KPK terus mengajukan pencabutan hak dipilih bagi pelaku korupsi di sektor politik. Tidak hanya menyasar pejabat pusat.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pencabutan hak politik terdakwa korupsi oleh hakim. Ilustrator: HGW
Ilustrasi pencabutan hak politik terdakwa korupsi oleh hakim. Ilustrator: HGW

Kiprah mantan anggota DPR dari Partai Demokrat, Amin Santono, di panggung politik akan ditentukan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Jika permintaan penuntut umum dikabulkan hakim, maka selama beberapa tahun setelah lepas dari penjara, ia tak bisa leluasa di panggung politik. Sebab, penuntut umum KPK meminta majelis mencabut hak Amin untuk dipilih atau menduduki jabatan publik.

Amin bukan satu-satunya dan yang pertama menghadapi tuntutan demikian. Sepanjang sejarah Pengadilan Tipikor, sudah banyak terdakwa korupsi yang diminta hak diipilih atau hak menduduki jabatan publik mereka dicabut. Bukan hanya terdakwa yang berasal dari level atas, tetapi juga penyelenggara negara di daerah seperti anggota DPRD. Amin Santoso salah satu terdakwa kasus korupsi yang kini menghadapi tuntutan pencabutan hak dipilih atau hak menduduki jabatan publik.

Penuntut umum meminta majelis hakim untuk mencabut hak mantan anggota Komisi XI DPR itu untuk dipilih menduduki jabatan publik tertentu atau lazim disebut hak politik selama lima tahun setelah menjalani pidana pokok. Untuk jenis hukuman lain, penuntut meminta Amin dipenjara selama 10 tahun denda Rp500 juta subsider 6 bulan serta uang pengganti sebesar Rp2,9 miliar.

(Baca juga: MA Hukum Eks Bupati Bangkalan 13 Tahun Penjara dan Pencabutan Hak Politik).

Pertanyaannya, apa alasan penuntut umum meminta pencabutan hak politik itu?. Jaksa KPK, Nur Haris, menganggp terdakwa melakukan perbuatan penyalahgunaan jabatan atau kedudukan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. “Untuk menghindari negara ini dikelola oleh orang-orang yang menggunakan jabatan atau kedudukannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kolega atau kelompoknya serta melindungi publik atau masyarakat dari fakta, informasi, persepsi yang salah tentang calon pemimpin yang akan dipilihnya maka perlu kiranya mencabut hak terdakwa untuk dipilih atau menduduki dalam jabatan publik,” jelas penuntut di depan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/1).

Permintaan pencabutan hak politik ini menurut penuntut umum juga sejalan dengan dengan salah satu tujuan hukum pidana yaitu menciptakan efek jera bagi pelaku kejahatan dan orang lain yang akan melakukan kejahatan, sehingga fungsi hukum sebagai a tool of social engineering dapat terwujud. Meskipun pencabutan hak tersebut juga harus dibatasi dalam tenggang waktu tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) KUHP.

Pada hari yang sama, juga ada sidang tuntutan sejumlah anggota dan eks anggota legislatif Sumatera Utara.  Rijal Sirait, Fadly Nurzal dan Rooslynda Marpaung merupakan anggota DPRD periode 2009-2014; sedangkan Rinawati Sianturi dan Tiaisah Ritonga merupakan anggota DPRD dua periode, yakni 2009-2014 dan 2014-2019. Seperti halnya Amin Santoso, para anggota dan eks anggota DPRD Sumatera Utara itu juga diminta agar hak politik mereka dicabut selama 4 tahun setelah selesai menjalani hukuman. Selain itu, mereka menghadapi tuntutan pidana masing-masing selama 4 tahun, denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti dengan jumlah yang berbeda.

Yudi Anton Rikmadani, kuasa hukum Amin Santono, mengatakan menghormati apa yang diajukan penuntut umum. Sebab, sesuatu yang wajar jika jaksa mempunyai pandangan bahwa korupsi yang dilakukan kliennya berhubungan dengan jabatan sehingga hak politiknya dicabut. Meskipun demikian, Yudi akan melakukan pembelaan untuk menangkis permintaan jaksa, termasuk mendalilkan penghormatan atas hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.

Tags:

Berita Terkait