Pencalonan Gugur Jika Satu Paslon Wafat Sebelum Pilkada
Berita

Pencalonan Gugur Jika Satu Paslon Wafat Sebelum Pilkada

Pemerintah memberikan tanggapan di MK mengenai gugurnya satu orang pasangan calon menjelang Pilkada.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Suasana pemungutan suara Pilkada. Foto: SGP (Ilustrasi)
Suasana pemungutan suara Pilkada. Foto: SGP (Ilustrasi)
Pemerintah menilai Pasal 54 ayat (5) UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada)tidak mengandung perlakuan berbeda atau ketidakadilan bagi setiap warga negara. Lagipula, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menolak pengujian Pasal 63 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah terkait aturan gugurnya pasangan calon dalam Pilkada lewat putusan MK No. 40/PUU-VIII/2010.

“Menurut MK, Pasal 63 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah, dalam perkara ini Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada, masih lingkup kebijakan legislasi yang tidak bertentangan dengan konstitusi,” kata Direktur Litigasi dan Perundang-Undangan Kemenkumham Yunan Hilmy saat menyampaikan pandangan pemerintah di ruang sidang MK, Kamis (17/3).

Sebelumnya, lewat kuasa hukumnya, calon bupati (Cabup) Lampung Timur Erwin Arifin mempersoalkan aturan gugurnya pasangan calon dalam pilkada melalui uji materi Pasal 54 ayat (5)UU Pilkada. Aturan itu menyebabkan Erwin gagal mengikuti Pilkada Serentak2015 lantaran salah satu pasangannya Priyo Budi Utomo sebagaicalon wakil bupati Lampung Timur telah meninggal dunia pada 4 April 2015 lalu.

Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada menyebutkan “Dalam hal pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara dan terdapat 2 (dua) pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan Pemilihan dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur.”

Erwin merasa sangat dirugikan dengan berlakunyaaturan itu karena secara otomatis pencalonannya sebagai calon bupati Lampung Timur gugur tanpa diberi hak mengganti calonlain. Menurutnya, frasa “tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur” dalam Pasal 54 ayat (5) UU Pilkadamenimbulkan diskriminasi, ketidakadilan dan menciderai kedaulatan rakyat.Sebab, aturan itu sama sekali tidak memberi jalan keluar atau kekosongan hukum ketika salah satu pasangan calonnya meninggal dunia.

Menurut Pemohon, frasa pemilihan dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap dinyatakan gugurdalam pasal itu, seharusnya diterapkan secara hati-hati dan sungguh-sungguh memberi kesempatan partai pengusung mencari dan mengganti pasangan calon laindalam jangka waktu yang wajar.

Dia mengutip pertimbangan putusan No. 40/PUU-VIII/2010 “…apabila frasa ‘dan pasangan calon yang meninggal dunia tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur’ dalam Pasal 63 ayat (2) UU Pemda dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut Mahkamah pasal itu tidak mengurangi hak konstitusional Pemohon berpartisipasi dalam pemerintahan”.

“Kesempatan itu sudah diberikan, tetapi (salah satu) pasangan calon meninggal dunia karena pasangan calon sebagai satu kesatuan digugurkan,” tutur Yunan mengutip pertimbangan putusan MK tersebut.

Menurutnya, pertimbangan putusan MK No. 40/PUU-VIII/2010 tersebut masih relevan dan tepat untuk diterapkan dalam permohonan pengujian Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada ini. Pemerintah juga sepakat dengan pandangan MK tersebut bahwa pengajuan pasangan calon kepala daerah dalam bentuk paket merupakan satu kesatuan karena pasangan calon kepala daerah memang tidak bisa diajukan sendiri-sendiri. Sebab, pada akhirnya pasangan calon tidak dipilih secara sendiri-sendiri, melainkan satu paket pasangan calon.

“Jadi, tidak ada prinsip kepastian hukum yang adil yang terlanggar dengan berlakunya Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada. Sebab, meninggalnya salah satu pasangan calon yang berakibat tidak bisa mengikuti pilkada merupakan takdir Tuhan yang tidak dapat diprediksi. Karena itu, seharusnya MK  menolak atau setidaknya menyatakan tidak menerima permohonan ini,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait