Pencarian, Penelusuran dan Pengungkapan Kebenaran Melalui Hukum
Kolom

Pencarian, Penelusuran dan Pengungkapan Kebenaran Melalui Hukum

Studi kasus sertifikat hak atas tanah sebagai bukti kebenaran-pembenaran penguasaan-pemilikan.

Bacaan 8 Menit
Pencarian, Penelusuran dan Pengungkapan Kebenaran Melalui Hukum
Hukumonline

Kajian ilmu (scientific endevour), baik ilmu-ilmu pasti, sosial atau humaniora, niscaya ditujukan untuk mencari-menemukan-mengungkap kebenaran (truth, verum) melalui logoi/logos (logika, nalar manusia). Itu pula alasan dari penamaan ilmu-pengetahuan: pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan ilmu-ilmiah yang sudah pasti melibatkan akal-nalar (ratio). 

Fakta umum yang diterima sebagai kebenaran (truism) ini ternyata tidak mudah untuk dipahami makna dan konsekuensinya. Kita masih dapat memperdebatkan apakah kebenaran yang terungkap oleh kegiatan manusia (di bidang ilmu pengetahuan) niscaya terinspirasi wahyu (pencerahan) atau sepenuhnya dilandaskan-berkembang dari kegiatan akal budi manusia.

Lantas bila kita terima kemungkinan bahwa ilmuwan (academic scholars, scientist) itu bekerja berdasarkan akal-budi (ratio), maka pertanyaannya adalah apakah mereka itu dapat/tidak sepenuhnya objektif-berjarak-netral atau justru hasil kajian-ilmiah dari ilmuwan (yang juga hanya manusia) harus diterima sepenuhnya subjektif-temporal dan tidak mungkin atau perlu dapat diterima sebagai kebenaran kekal-abadi-universal?

Pertanyaan serupa kita temukan dalam pengembangan kegiatan hukum yang bersifat teoretikal-akademis maupun yang praktikal. Bahkan pertanyaan mendasar dan lebih penting di sini adalah apakah kajian ilmu hukum (pengembanan ilmu hukum secara teoretis ataupun praktikal) betul dapat didefinisikan sebagai kegiatan ilmu (scientific endeavour) dan bukan hanya ikhtiar menambah-mengembangkan pengetahuan (knowledge) tentang hukum sebagai norma dan/atau fakta atau bahkan sekadar strategi memajukan kepentingan tertentu. Penulis mengungkap keraguan ini dengan tegas: pengemban ilmu betul sangat terpelajar, namun mereka bukan ilmuwan.

Baca juga:

Pembahasan di sini terfokus pada upaya pengungkapan kebenaran dalam pengembanan hukum. Di sini kita dihadapkan pada teori kebenaran formal-substantif-materiil (dalam hukum acara atau hukum pembuktian) yang darinya pengemban hukum berpijak dan menyatakan apa yang seharusnya atau seyogianya menjadi hukum dalam suatu kasus tertentu. Terkait dengan itu adalah persoalan bagaimana mengukur dan menetapkan validitas (keabsahan: formal-materiil) dan legitimasi (political-social-moral acceptance and recognition atau pengukuran kebajikan (virtue)) dari norma yang, dengan itu, dikategorikan sebagai norma hukum (berlaku sebagai sumber hukum yang mengikat dan karena itu layak ditegakkan dan dipatuhi).

Apakah kemudian kebenaran yang diungkap melalui pendekatan ilmu hukum teoretikal akan berbeda dari apa yang muncul dari praktik hukum? Dari sudut pandang teori dan filsafat hukum kita akan bersentuhan bukan dengan hanya aspek kebenaran (verum-truth, baik terkait dengan kebajikan (virtue-wisdom) atau tidak), namun lebih dan melampaui itu, bagaimana menetapkan-mengukur kadar keadilan-kepastian dan persoalan apakah kedua aspek tersebut berkaitan atau tidak berkaitan dengan pertanyaan apa itu dan yang seharusnya menjadi hukum. 

Ulasan dimulai dengan penelusuran kekuatan alat bukti dari sertifikat hak atas tanah (yang memuat keterangan tentang keterangan tanah dan gambar situasi) yang dibandingkan dengan kekuatan hukum Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan Kepala Desa.

Sertifikat Hak atas Tanah

Diakui dan ditegaskan bahwa pemegang (siapapun yang namanya tertulis sebagai pemegang hak di dalam) sertifikat hak atas tanah, yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Negara, memegang tanda bukti (nyaris) sempurna tentang keabsahan (legalitas-validitas) dari informasi yang tercantum di dalamnya. Pemegang sertifikat hak atas tanah, oleh hukum negara diakui (dan diharapkan juga begitu oleh masyarakat) sebagai satu-satunya pihak yang berhak memiliki-menguasai bidang tanah yang luasan dan tata letak serta batas-batasnya dinyatakan dalam gambar situasi. Singkat kata, negara adalah penjamin dari kebenaran informasi yang tercantum di dalam sertifikat hak atas tanah.

Kendati begitu harus diperhatikan bahwa dalam bahasa hukum agraria (hukum pertanahan), kekuatan bukti dari sertifikat hak atas tanah disebutkan mengikuti sistem publikasi negatif. Dengan itu dimaksud bahwa kekuatan bukti formal-materiil (bentuk/form termasuk prosedur perolehannya sekaligus menjadi jaminan kebenaran materiil-substantif dari informasi yang termuat di dalamnya, hanya berlaku sepanjang tidak ada bukti lain yang lebih kuat diajukan oleh pihak ketiga. Maka jaminan negara akan kebenaran informasi yang tercantum di dalam sertifikat hak atas tanah harus dibaca diberikan dalam konteks sejauh pengetahuan terbaik yang diperoleh (to the best of the state/government knowledge).

Bukti-informasi lain yang diajukan pihak ketiga itu harus dapat mengalahkan-meniadakan-memfalsifikasi kebenaran yang termuat dalam sertifikat hak atas tanah. Kebenaran formal-materiil sertifikat hak atas tanah yang ternyata relative ini (dapat disangkal kapanpun ada pihak ketiga memiliki bukti lain yang lebih kuat) harus kita tempatkan dalam konteks proses verifikasi yang mendahului penerbitan sertifikat hak atas tanah.

Verifikasi informasi yang disampaikan pemohon dilakukan melalui proses pemeriksaan (keabsahan-kebenaran formal-substantif/materiil) dari surat-surat apapun yang ada (letter c, girik dll.) yang menunjukkan adanya klaim (prioritas) hak atas tanah oleh pegawai-pejabat Kantor Pertanahan Negara ataupun klaim (lisan tentang) penguasaan tanah selama sekian puluh tahun tanpa adanya gangguan dari pihak ketiga yang mengindikasikan adanya penerimaan-pengakuan oleh masyarakat sekitar akan kebenaran (keabsahan maupun legitimasi) klaim ini.

Proses ini dilanjutkan oleh BPN-Kantor Pertanahan, mewakili negara, dengan pemeriksaan lapangan untuk memastikan (secara empiri) lokasi, luasan dan batas-batas dengan tetangga. Maka apa yang kemudian dicantumkan dalam gambar situasi (hasil pengukuran luasan, batas-batas dengan tetangga, lokasi) sedianya adalah benar (secara substantif) karena telah diperiksa-diverifikasi (berkoresponden) dengan kenyataan di lapangan. Klaim yang juga telah mendapat persetujuan-pengukuhan oleh tetangga yang memiliki-menguasai tanah (persil) berbatasan. 

Selanjutnya permohonan ini atau klaim kepemilikan ini harus diumumkan di surat kabar (agar diketahui umum) dan bila dalam batas waktu yang ditetapkan tidak ada pihak ketiga yang berkeberatan, klaim pemohon dianggap memenuhi syarat untuk diproses lebih lanjut. Tiada-nya klaim dari pihak ketiga sekaligus berarti masyarakat umum telah mengakui dan menerima-menyetujui klaim kepemilikan dan penguasaan tanah tersebut. Singkat kata, klaim yang mendapatkan legitimasi sosial, diterima sebagai benar adanya.

Pengukuhan terakhir (semestinya bersifat deklaratif) namun dengan dampak konstitutif adalah penerbitan sertifikat hak atas tanah. Itu juga berarti bahwa sertifikat ini (sebagai paket data informasi) yang sedianya merupakan petikan/salinan dari buku induk yang disimpan, dijaga dan dipelihara Kantor Pertanahan) sebenarnya memuat kebenaran prosedural (semua prosedur yang wajib ditempuh telah ditempuh) yang sekaligus menjamin kebenaran materiil (apa yang dinyatakan berkoresponden dengan yang dituliskan dalam sertifikat). Semua perbuatan tersebut berujung pada performative truth. Semua proses-prosedur yang ditempuh dengan benar merupakan jaminan dari kebenaran informasi yang dicantumkan di dalam Sertifikat Hak atas Tanah (termasuk gambar situasi) dan di balik itu data yang direkam dalam Buku Induk (tanah).

Apakah hal-ikhwalnya sesederhana itu dalam praktik hukum di Indonesia? Seperti disinggung di atas, kebenaran (formil-prosedural-materiil) dari data yang tercantum dalam sertifikat selalu terbuka untuk difalsifikasi atau dinegasikan oleh pihak ketiga. Sertifikat hak atas tanah (dan semua informasi/data yang termuat di dalamnya) karena itu tidak pernah dapat dianggap kata akhir. Bahkan negara yang sejatinya memberi jaminan atas kebenaran dan klaim yang direpresentasikan Sertifikat Hak atas Tanah sertifikat malah membuka peluang seluas-luasnya, kapanpun dan oleh siapapun, untuk menegasikan keabsahan maupun legitimasi (klaim kebenaran perihal) kepemilikan-penguasaan tanah dari pihak yang namanya tertulis dalam sertifikat hak atas tanah. 

Berkaitan dengan ini menarik pula mencermati posisi yang dipilih BPN-Kantor Pertanahan bila terjadi konflik-sengketa agraria (tumpang tindih klaim kepemilikan; kesalahan administrasi dll.). Berhadapan dengan konflik, BPN-Kantor Pertanahan sebagai pihak yang mengelola administrasi pertanahan dan menerbitkan serta seharusnya berkedudukan sebagai penjamin kebenaran (formal-materiil maupun performative) dari sertifikat hak atas tanah, menempatkan diri sebagai penyedia jasa baik (mediasi-arbiter).

Para pihak yang berkonflik-bersengketa berhadapan dengan Kantor Pertanahan dipersilakan mengadu bukti dan klaim kebenaran tentang siapa yang sebenarnya berhak menguasai-memiliki bidang tanah yang disengketakan. BPN/Kantor Pertanahan de facto berhenti menjadi penjamin kebenaran sertifikat hak atas tanah yang diterbitkannya sendiri. De jure sertifikat hak atas tanah (bukti yang ternyata tidak sempurna) itu bisa dibenturkan-dan dikalahkan bukti-bukti lainnya (termasuk bukti penguasaan fisik) atau bahkan dokumen-dokumen yang seharusnya sudah dinyatakan tidak lagi memiliki keabsahan maupun legitimasi, misalnya dokumen tanah atau bahkan bukti pajak tanah yang diterbitkan pemerintah yang sudah tidak lagi dianggap absah.

Lantas, ikhtiar pencarian-penemuan kebenaran tentang siapa yang berhak dan tidak berhak menguasai-memiliki tanah di hadapan hukum diserahkan kembali pada pihak-pihak yang bersengketa. Kebenaran diharapkan diperoleh dalam konteks adversarial. Maka pencapaian “kebenaran-akhir” akan tergantung juga pada jawaban seberapa jauh negara dapat menjamin adanya proses yang adil-berimbang (due process) dan mau/mampu mengambil sikap untuk mendukung-menjamin kebenaran yang diperoleh melalui proses tersebut.

Kebenaran di sini diandaikan dapat terungkap dari perbenturan-perjumpaan kepentingan yang diargumentasikan para pihak yang bersengketa dan yang pada akhirnya didukung-dijamin kebenarannya (baik dilakukan sesuai proses yang benar dan secara substantif-materiil benar adanya) oleh – kembali lagi – negara yang sejak semula justru menolak menjamin kebenaran sertifikat hak yang diterbitkannya. Apakah hal di atas terjadi dengan penerbitan surat keterangan tanah/desa?

Surat Keterangan Tanah/Desa

Kepala desa dalam batas wilayah administrasi diberi kewenangan menerbitkan surat keterangan tanah/desa (SKT/SKD) yang memuat informasi-keterangan perihal nama pemilik tanah atau orang yang mengklaim kepemilikan-penguasaan bidang tanah, luasan tanah serta lokasi, riwayat perolehan tanah, penjelasan tanah tidak dalam sengketa. Dari sudut pandang negara – yang sudah seharusnya bersikukuh mempertahankan keyakinan pembuat dan penerbit (kantor pertahanan) maupun khususnya masyarakat akan kebenaran dari Sertifikat Hak atas Tanah – SKT hanya dipandang sebagai dokumen pendahulu atau pendamping. Informasi yang tercantum dalam SKT sebab itu harus sama-identik dengan yang tercantum dalam Sertifikat Hak atas Tanah. Kemungkinan lain adalah informasi yang tercantum dalam SKT (termasuk fakta tentang lokasi-luasan-riwayat tanah-bebas dari sengketa/konflik) dikonversi dan ditegaskan di dalam Sertifikat. Maka, kebenaran (korespondensi) yang diwakili SKT/SKD menjadi dasar-landasan atau penguat kebenaran dari informasi yang dicantumkan dalam Sertifikat Hak atas Tanah.

Praktik hukum jauh lebih rumit dari itu. Beberapa faktor berpengaruh di sini. Pertama adalah rumit-mahal dan tidak selalu terjangkaunya layanan Kantor Pertanahan, terutama bagi masyarakat pelosok atau masyarakat miskin perkotaan. Kedua, adalah sikap ambigu negara sendiri terhadap kekuatan bukti atau kebenaran informasi yang tercantum di dalam Sertifikat Hak atas Tanah. Keduanya membuka celah-peluang berkembangnya cara-cara atau bukti-bukti lain untuk menunjukkan keabsahan-dan legitimasi kepemilikan-penguasaan tanah. 

Pendudukan-penguasaan tanah secara nyata (fisik) sekurang-kurangnya selama 20 tahun berturut secara formal dibuktikan dengan berbagai dokumen yang tersedia. Di dalam praktik hukum, misalnya, dokumen bukti pajak tanah (letter-c, kikitir, pethuk, dll) atau bukti tanah dari pemerintah colonial (berkas-berkas: eigendom verponding, erfpacht, dll) menjadi pegangan dan digunakan untuk mendukung klaim (validitas dan legitimitasi) penguasaan fisik atau digunakan untuk membantah kebenaran klaim dari pemegang sertifikat hak atas tanah. Pengadilan, bahkan, terbukti, atas dasar adanya bukti-bukti indikatif di atas (bukti-bukti awal adanya hak) memutus untuk membatalkan dan menetapkan tidak sah Sertifikat Hak Milik yang secara sah (substantif-prosedural) diterbitkan Kantor Pertanahan.

Singkat kata, SKT/SKD dalam praktik hukum (setidak-tidaknya di tingkat desa atau masyarakat desa) digunakan sebagai bukti sempurna tentang keabsahan dan legitimasi penguasaan-pemilikan tanah. Bahkan, informasi yang tercantum dalam SKT/SKD, karena melibatkan langsung aparat pemerintah desa dan proses pembuatannya dilakukan dalam lingkup masyarakat desa, sebenarnya memenuhi kriteria kebenaran koresponden. Informasi yang dinyatakan di dalam SKT/SKD berkorespondensi dengan kenyataan empiris terkait pemilik, lokasi-luasan tanah, riwayat tanah dll. Kemungkinan besar itu pula yang menyebabkan SKT/D (termasuk semua bukti indikatif lain: bukti bayar pajak zaman kolonial, atau lainnya) bahkan dipandang mempunyai kekuatan bukti berdiri sendiri dan lebih lagi dapat memfalsifikasi kebenaran yang termuat dalam Sertifikat Hak atas Tanah.

Penutup

Uraian singkat di atas tidak dimaksudkan untuk memberikan kata akhir tentang surat atau dokumen hukum mana yang paling benar. Juga tidak dimaksud sebagai ulasan khusus tentang masalah kekuatan bukti dokumen kepemilikan-penguasaan tanah dalam ranah hukum pertanahan. Sebaliknya uraian singkat ini hanya dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang bagaimana klaim kebenaran (materiil-substantif-prosesuil), tidak hanya pada tataran teoretikal, namun justru pada ranah praktikal, terkait berkelindan dengan pengujian keabsahan (validitas-legalitas) maupun legitimasi. Satu catatan penting yang muncul, kendati begitu, adalah pentingnya menelisik dan terus mempertanyakan klaim kebenaran dari setiap pernyataan normatif-evaluatif di bidang hukum, apapun bentuk akhirnya.

*)Tristam Pascal Moeliono, Pengajar mata kuliah filsafat hukum, perbandingan hukum dan sosiologi hukum di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Anggota KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik) dan AFHI (Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia).

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Univeristas Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait