Pendataan Penyandang Disabilitas Bermasalah
Berita

Pendataan Penyandang Disabilitas Bermasalah

RUU Penyandang disabilitas diharapkan menjadi solusi atas ketidakakuratan pendataan dan memberikan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Penyandang disabilitas. Foto: RES (Ilustrasi)
Penyandang disabilitas. Foto: RES (Ilustrasi)
Permasalahan  ketidakadilan terhadap penyandang disabilitas bukan saja terletak pada fasilitas dan infrastruktur, tetapi juga persoalan mendasar yakni pendataan. Ketidakakuratan data penyadang disabilitas di Indonesia menyebabkan ketidaksinkronisasian antara data Badan Pusat Statistik (BPS)  dengan data Kementerian Sosial atau lembaga terait dalam penanganan masalah sosial.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ledia Hanifa Amaliah, berpandangan bermasalahnya pendataan penyadang disabilitas menjadi persoalan mendasar dalam penanganan persoalan sosial. Hal itu tentu saja berdampak dalam pemenuhan hak-hak mereka para penyadang disabilitas. Oleh sebab itu, dalam Rancangan Undang-Undang Penyadang Disabilitas yang akan dilakukan pembahasan antara DPR dengan pemerintah, setidaknya dapat menjawab semua persoalan terhadap pemenuhan hak penyandang disabilitas.

“Ternyata kita tidak punya data akurat terkait penyadang disabilitas. Data yang kita miliki berbeda dengan data WHO mencantumkan 10 juta. Ternyata kita tidak punya pendataan penyadang disabilitas, sehingga kita tidak bisa memperhatikan hak-hak yang mereka peroleh,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Selasa (30/6).

Menurutnya, gangguan kejiwaan dapat dikategorikan sebagai penyandang disabilitas. Merujuk data BPS, 11 hingga 13 persen dari jumlah penduduk Indonesia merupakan penyandang disabilitas. Ia berpendapat gangguan kejiwaan masuk sebagai penyandang disabilitas mental dan intelektual.

Akibatnya, penyandang disabilitas kerap kali rentan mengalami diskriminasi. Ironisnya, acapkali rentan mengalami tindakan kriminal. Oleh sebab itu, untuk mencegah terjadi hal tersebut, dibutuhkan aturan berupa UU yang dapat menjadi payung hukum dalam penguatan pemberian perlindungan dan pemberian hak bagi mereka penyandang disabilitas.

“Ini temuan komisi VIII. Makanya, ini semakin mengkuatkan UU ini dibuat,” imbuhnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berpandangan dalam RUU Penyandang Disabilitas yang masuk dalam Prolegnas 2015-2019 itu setidaknya terdapat 200 pasal. Selain mengatur kewajiban pemerintah daerah membangun infrastruktur bagi penyandang disabilitas, juga mengamanatkan dibentuknya komite penyandang disabilitas. Komite itu nantinya memberikan pembinaan dengan melalui pendekatan keluarga.

“Jadi penyandang disabilitas bukan dimasukan ke panti,” ujarnya.

Kepala Pusat Kajian Disabilitas FISIP UI, Irwanto, mengamini pandangan Ledia. Ketidakakuratan Negara dalam pendataan penyandang disabilitas menyebabkan sulitnya dalam pemenuhan hak mereka. Ia mengatakan data BPS berbasis internasional mendeteksi penyandang disabilitas berkisar 11 hingga 13 persen

“Tapi lagi-lagi yang digunakan data Riset Kesehatan Daerah (Riskesdas) serta Sistem Kesehatan Nasional (Siskenas) 2009 ini sekitar 1,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Ini sangat merugikan,” katanya.

Dikatakan Irwanto, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki data penyandang disabilitas melalui riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Padahal, sebutnya, penyandang disabilitas berbicara konsep  bukan keterbatasan yang berkembang di masyarakat stigma negatif. "Seolah-olah penyandang disabilitas orang setengah manusia, ini salah sekali. Mereka punya banyak kemampuan lebih dari anda,” ujarnya.

Ia pun meminya pemerintah dan DPR yang saat ini sedang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyandang Disabilitas, harus memperjelas masalah pendataan itersebut agar ada kepastian jumlah penyandang disabilitas.  “Ini perlu diatur dalam UU agar ada satu data penyandang disabilitas yang akurat, “ tandasnya.

Direktur Jenderal Rehabilitas Sosial (Rehsos) Kementerian Sosial (Kemensos), Samsudi, berpandangan Indonesia telah memiliki UU No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas. Sayangnya, UU tersebut sudah usang dan tidak relevan. Pasalnya penyebutan kata ‘cacat’ di Indonesia sudah dihapuskan dan diganti dengan penyandang disabilitas.

“Penyandang disabilitas bukan dikasihani, tapi adanya kekurangan. Itu yang perlu diubah persepsi di masyarakat denga membuat lingkungan ramah dan tidak perlu dikasihani penyandang disabilitas,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait