Pendekatan Kompromistis dalam Pengakuan Anak Luar Kawin
Kolom

Pendekatan Kompromistis dalam Pengakuan Anak Luar Kawin

Perlindungan hukum terhadap status anak dari perkawinan yang tidak tercatat, dan perkawinannya tidak dapat disahkan oleh pengadilan, tetap dapat dilakukan dengan pengakuan anak.

Bacaan 6 Menit
Muhamad Isna Wahyudi. Foto: Istimewa
Muhamad Isna Wahyudi. Foto: Istimewa

Keragaman hukum perkawinan di Indonesia yang mencakup hukum perdata Barat (KUH Perdata), hukum Islam, dan hukum adat menuntut sebuah pendekatan kompromistis untuk mewujudkan kesatuan hukum yang berlaku, termasuk perlindungan hukum terhadap anak melalui pengakuan anak luar kawin. Kompromi ini dapat dilakukan dengan menggali unsur-unsur yang sama dari beragam norma hukum yang berlaku, dan menyatukannya menjadi sebuah konsensus hukum. Artikel ini akan membahas bagaimana pendekatan kompromistis bekerja dalam hukum pengakuan anak luar kawin di Indonesia di tengah pluralisme hukum yang ada.

Pengertian anak luar kawin dalam artikel ini adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, baik menurut hukum agama maupun hukum negara, sehingga termasuk anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat sesuai peraturan perundang-undangan. Batasan istilah yang demikian digunakan karena perlindungan hukum terhadap status anak luar kawin melalui pengakuan anak bertujuan untuk memberikan identitas hukum orang tua anak luar kawin.

Dalam KUH Perdata, lembaga pengakuan anak diatur dalam Pasal 280 yang menyatakan “Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan ayah atau ibunya.” Namun, pengakuan anak luar kawin tersebut tidak dapat dilakukan terhadap anak hasil perzinaan atau penodaan darah (incest) sebagaimana diatur dalam Pasal 283 KUH Perdata.

Pengertian perzinaan dalam KUH Perdata ini adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan perkawinan dalam hal salah satu atau kedua pihak masih terikat perkawinan dengan orang lain. Selanjutnya, apabila kedua orang tua anak tersebut melakukan perkawinan menyusul pengakuan yang telah dilakukan, maka telah terjadi pengesahan anak sehingga status anak tersebut menjadi anak sah dari kedua orang tuanya sebagaimana diatur dalam Pasal 272 KUH Perdata.

Pengakuan di atas adalah pengakuan yang dilakukan secara sukarela oleh orang tua biologis. Dalam hal, ayah biologis tidak mau melakukan pengakuan secara sukarela, maka hubungan perdata anak luar kawin dengan ayah biologisnya juga dapat terjadi dengan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan/atau alat bukti lain menurut hukum bahwa terdapat hubungan darah antara anak luar kawin dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya, sebagaimana bunyi Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 46/VIII/2010 pada 17 Februari 2012.    

Dalam hukum Islam, terdapat lembaga pengakuan anak yang dikenal dengan istilah istilhaq. Istilhaq secara umum digunakan untuk memberikan perlindungan hukum atas status anak yang tidak diketahui asal-usulnya atau orang tuanya, seperti anak temuan (laqith) akibat dibuang oleh orang tuanya, anak korban bencana alam atau anak korban peperangan yang kehilangan orang tuanya. Dalam praktik hukum di lingkungan Peradilan Agama, hanya istilhaq terhadap laqith inilah yang berlaku selama ini.

Sedangkan terkait istilhaq anak luar kawin, terdapat perbedaan di kalangan ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak luar kawin tidak dapat dihubungkan nasabnya dengan ayah biologisnya. Pendapat mayoritas ulama didasarkan kepada hadis yang menyatakan “al-waladu lil-firasy, wa lil-‘ahir al-hajar,” dengan terjemahan “anak dinasabkan kepada suami ibu yang melahirkan anak, dan bagi pelaku zina terdapat halangan untuk melakukan pengakuan anak.”

Hadis tersebut dilatarbelakangi oleh perselisihan antara seorang suami dengan seorang laki-laki yang berhubungan dengan istri dari suami tersebut tentang status anak yang dilahirkan oleh istri dari suami tersebut, kemudian Nabi Muhammad saw memutuskan bahwa anak tersebut adalah anak dari suami ibu yang melahirkan anak tersebut, meski anak tersebut memiliki kemiripan dengan laki-laki tersebut.

Sementara beberapa ulama seperti Ishaq bin Rahawaih, Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Muhammad bin Sirin, Atha, Ibn Taimiyya, and Ibn Qoyyim, berpendapat bahwa apabila laki-laki yang berhubungan dengan ibu dari anak luar kawin mengakui anak tersebut, nasab anak tersebut dapat dihubungkan dengan ayah biologisnya. Mereka berpendapat bahwa hadis di atas terkait dengan perselisihan yang terjadi antara seorang suami dengan seorang laki-laki yang berzina tentang status anak dari seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan.

Jika dicermati, maka norma hukum yang dikandung hadis di atas selaras dengan larangan pengakuan anak luar kawin hasil hubungan dengan perempuan atau laki-laki yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 283 KUHPerdata.

Dalam hukum adat juga terdapat pengakuan anak luar kawin. Seorang ayah dari anak yang lahir di luar perkawinan dapat memiliki hubungan hukum dengan anak biologisnya tersebut melalui lembaga pengakuan, di Minahasa dikenal dengan lilikur yang berupa hadiah yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada anak biologisnya, sementara di Ambon, lembaga pengakuan tersebut dikenal dengan istilah di-erken.

Namun, menurut sebagian besar hukum adat, anak luar kawin hasil hubungan dengan perempuan yang masih terikat perkawinan dengan laki-laki lain sebagai suaminya, anak tersebut tetap menjadi anak sah dari suami perempuan yang berzina tersebut, kecuali jika menurut alasan-alasan tertentu suami dibenarkan oleh hukum adat untuk menolak mengakui anak yang bersangkutan, karena sang istri melakukan perbuatan zina dengan laki-laki lain yang bukan suaminya. Ketentuan hukum adat ini juga selaras dengan hadis “al-waladu lil-al-firasy” di atas.

Dari pembahasan tentang pengakuan anak luar kawin menurut keragaman hukum yang berlaku di Indonesia di atas, dapat ditarik unsur-unsur yang sama dari norma hukum yang beragam tersebut, yaitu terdapat lembaga pengakuan anak luar kawin untuk memberikan perlindungan hukum terhadap status anak luar kawin, namun pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut tidak dapat diberlakukan terhadap anak hasil hubungan orang tua yang salah satu atau keduanya masih terikat perkawinan dengan orang lain. Ketentuan ini menjadi sebuah konsensus hukum yang kemudian dijadikan dasar untuk merumuskan ketentuan undang-undang.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 49 ayat 2 berbunyi “Pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara.”

Norma dalam Pasal 49 ayat 2 tersebut telah mengakomodir konsensus hukum tentang lembaga pengakuan anak luar kawin, namun dibatasi terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat. Pembatasan demikian merupakan bentuk kompromi dengan hukum Islam, yang menurut pendapat mayoritas ulama, pengakuan anak tidak dapat dilakukan terhadap anak yang lahir di luar ikatan perkawinan orang tuanya. Berdasarkan laporan pengakuan anak kepada instansi pelaksana, maka Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengakuan anak dan menerbitkan kutipan akta pengakuan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 3.

Pengakuan anak masih jarang dimanfaatkan oleh orang tua Muslim yang melakukan perkawinan siri/tidak tercatat, karena ada jalur hukum lain yang biasanya sering ditempuh yaitu dengan mengajukan permohonan pengesahan nikah (itsbat nikah) ke Pengadilan Agama. Dalam hal permohonan itsbat nikah dikabulkan, dan anak dilahirkan sebagai akibat atau dalam perkawinan yang disahkan tersebut, status anak secara hukum menjadi anak sah dan dapat memperoleh akta kelahiran sebagai anak sah. 

Namun demikian, pengakuan anak dapat dimanfaatkan oleh kedua orang tua yang melakukan perkawinan tidak tercatat, namun sulit untuk mendapatkan pengesahan nikah dari Pengadilan Agama, seperti perkawinan siri yang dilakukan terhadap istri kedua, ataupun perkawinan siri yang dilakukan ketika tidak mendapatkan dispensasi kawin dari pengadilan karena belum cukup umur, namun telah terjadi kehamilan di luar nikah dan sulit memperoleh pengesahan nikah karena pada saat menikah belum cukup umur. Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap status anak dari perkawinan yang tidak tercatat, dan perkawinannya tidak dapat disahkan oleh pengadilan, tetap dapat dilakukan dengan pengakuan anak. 

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan anak luar kawin yang dilahirkan selain dari perkawinan yang tidak tercatat? Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan tanpa ikatan perkawinan sama sekali? Dalam hal ini, orang tua dapat mengajukan permohonan penetapan asal-usul anak maupun pengakuan anak ke pengadilan sesuai dengan agamanya. Karena bagi anak yang tidak jelas asal-usulnya, seperti telah disebutkan di atas, dapat diajukan permohonan pengakuan anak (istilhaq) untuk memberikan perlindungan hukum atas status anak tersebut, hal yang demikian tentunya dapat juga dilakukan terhadap anak-anak yang dilahirkan di luar ikatan perkawinan, namun semua keputusan dikembalikan kepada pengadilan yang memeriksa perkara.

*)Muhamad Isna Wahyudi, Ketua Pengadilan Agama Kuala Kapuas, Kapuas, Kalimantan Tengah, dan lulusan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.    

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait