Penegak Hukum Setengah Dewa
Kolom

Penegak Hukum Setengah Dewa

Penegakan hukum yang berkeadilan dan objektif baru terjadi setelah viral dan timbul polemik di masyarakat. Kondisi inilah yang harus diubah oleh para penegak hukum.

Rasilu dipidana atas meninggalnya penumpang tersebut meskipun keluarga penumpang tersebut telah berdamai dengan Rasilu dan mencabut laporan. Anehnya dalam kasus tersebut pada proses penyidikan hingga persidangan aparat penegak hukum tidak menghadirkan pengendara mobil, padahal pangkal kecelakaan yang menewaskan penumpang tersebut adalah mobil tersebut.

No Viral No Justice?

Jika melihat ‘rentetan peristiwa’ diatas maka konstruksi korban diposisikan sebagai pelaku sudah terjadi di hampir seluruh Indonesia. Persoalannya mengapa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas ? Philp Nonet (1987), menjelaskan sensitivitas aparat penegak hukum untuk akan keadilan untuk semua lapisan belum terjadi, sehingga menghasilkan disparitas putusan. Sensitivitas akan keadilan erat kaitannya dengan integritas aparat penegak hukum untuk menghadirkan keadilan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali.

Pembedaan perlakuan dalam proses hukum dan pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan (disparitas) mengacu pada penelitian Nawawi et all (2015), disebabkan karena dua hal yakni faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis disebabkan karena pemahaman akan substansi hukum dan proses yudisial belum merata antar sesama penegak hukum di Indonesia, hal ini terlihat karena pada institusi penegakan hukum masih mengenal kelas, (misalnya pengadilan kelas Ia, Ib dan seterusnya, demikian juga dengan kejaksaan dan kepolisian).

Pembagian kelas dan tipe tersebut selain menunjukkan intensitas perkara juga kualitas dan pengalaman SDM aparat penegak hukum yang bertugas. Faktor yang kedua yakni faktor non teknis yakni terkait integritas oknum aparat penegak hukum, dalam pemikiran Klitgard (1999) yang kemudian dikenal dengan teori CDMA, penyimpangan pada profesi penegak hukum dimungkinkan menurut rumus koruptif , yakni C ( Corruption/penyimpangan) = D (Diskresi / kebebasan) + M (Monopoli) – A (Akuntability).

Jika melihat sederhananya kasus-kasus semestinya penyimpangan maupun disparitas proses penegakan hukum tidak disebabkan oleh faktor teknis, tetapi nampaknya jika merunut teori CDMA lebih disebabkan pada sebab non teknis. Mengingat ada perbedaan kontras terkait proses penegakan hukum begal di Lombok Tengah yang sedang viral tersebut dengan kasus sejenis lainnya.

Bagaimanapun negara berkewajiban menghadirkan keadilan yang sama untuk setiap warga negara, sebagaimana tersebut dalam konstitusi untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Kasus Lombok Tengah hingga Rasilu adalah bukti hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, dalam hal ini pihak yang terkait (Komisi Kepolisian, Kejaksaan dan Yudisial) harus menaruh atensi serius guna tercapainya prinsip negara hukum yakni kesamaan perlakuan di depan hukum (equality before the law) yang belum dapat diperoleh pada penegakan hukum di Indonesia.

Langkah korektif pada penegakan hukum selain mengembalikan rasa keadilan pada para korban juga sekaligus memberi keyakinan pada masyarakat bahwa akses keadilan dapat diperoleh oleh seluruh warga negara tanpa pembedaan apapun. Selain langkah korektif melalui upaya yudisial tetapi evaluasi atas proses hukum yang dialami oleh para korban yang diproses hukum sebagai pelaku mulai penyidikan hingga putusan pengadilan perlu dilakukan sebagai upaya perbaikan dan menggali alasan terjadinya disparitas perlakuan dan putusan tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait