Perlakuan yang berbeda tersebut menunjukan wajah mendua dalam upaya pemberantasan korupsi itu sendiri. Perlakuan yang istimewa dari aparat penegak hukum bahkan juga dari masyarakat sendiri terhadap pelaku korupsi mudah untuk ditemukan jawabannya manakala korupsi dianggap sebagai perbuatan yang lumrah. Biaya tambahan dalam mengurus KTP misalnya sudah dianggap lumrah, meskipun sejatinya tidak dapat dibenarkan. Uang negara yang dicuri dianggap bukan harta kekayaan pribadi dan ini berbeda ketika bawang merah dicuri orang dari warung waktu kita tidur. Istilah uang negara hanyalah istilah teknis saja.
Sebenarnya istilah uang negara sama dengan uang rakyat. Sebab rakyatlah yang menghasilkan dana dan membiayai negara melalui pajak. Paling tidak rakyat dijadikan komoditas untuk menghimpun dana dari negara pendonor. Jadi negara bukanlah entitas mahluk yang tiba-tiba bisa menghasilkan uang. Melainkan mandat rakyat yang diberikan kepada pejabat yang menjalankan organisasi negara inilah yang menjadi dasar bagi negara memperoleh kekayaan. Dengan konklusi sederhana maka rakyatlah yang mensubsidi negara dan bukan sebaliknya.
Bila uang rakyat yang dicuri melalui negara pelakunya diperlakukan secara istimewa maka untuk kejahatan pencurian seperti kisah Saprudin dan Mulyadi di atas hampir semua kita temukan para pelakunya mendapatkan ganjaran yang sesungguhnya dari hukum itu sendiri. Sering kita dengar para pencuri yang dibakar hidup-hidup lalu mati ditempat atau pencuri yang telah lumpuh kakinya ketika menjalani pemeriksaan di pengadilan akibat digebuki ramai-ramai oleh masyarakat yang memergokinya, kemudian mati kepayahan di penjara ketika menjalani hukuman.
Kegagalan memahami esensi korupsi dengan pembelotan terhadap makna uang atau harta yang dicuri melalui eupemisme istilah telah menciptakan dekriminalisasi tindak korupsi. Kondisi dimana ketika penegakan hukum pidana berjalan terhadap suatu kejahatan namun tidak menghasilkan efektifikasi hukum pidana atau tidak menghadirkan efek keadilan di masyarakat konsekuensinya hukum dan penegakan yang setengah hati itu justru merupakan pintu masuk bagi lahirnya delegitimasi negara. Pada akhirnya kita akan melihat hancurnya kekuasaan negara atau kekuasaan yang memerintah berlangsung akibat tekanan-tekanan yang saling bersaing (kontradiksi) yang tanpa sadar diciptakannya negara itu sendiri. Pada titik ini maka dapat dipahami mengapa masyarakat kembali menggunakan cara-cara purba untuk menyelesaikan persoalan kejahatan yang terjadi.
Bila kondisi ini meluas maka praktik seperti penyerangan suatu kelompok masyarakat kepada kelompok masyarakat lainnya, aksi premanisme kepada wartawan oleh sekelompok orang, pola kriminalitas sadis di kota-kota besar, konflik dan curiga yang berkepanjangan di beberapa daerah sampai aksi pemboman di lokasi tertentu adalah benih fasisme yang sadar tidak sadar telah disemai oleh negara.
Dalam konteks pemberantasan korupsi seperti maraknya para pelaku yang diduga melakukan korupsi dan diperiksa di pengadilan, relevan untuk mempertanyakan makna keadilan yang hakiki. Apakah keadilan dalam konteks penegakan hukum (law enforcement) diterima cukup puas sampai tahap hukum berjalan dalam proses dalam arti cuma sebatas fenomena pemeriksaan dan pengusutan. Atau kita menilai keadilan sebagai sebuah hasil dalam penegakan hukum. Dalam bahasa yang lebih operasional, apakah penegakan hukum atas kejahatan korupsi diterima dengan lega hati cuma sampai tahap pemeriksaan di persidangan sidang an sich atau parameter tegaknya hukum dan keadilan itu dikonstruksikan ketika proses yang telah berlangsung dari tingkat penyidikan sampai akhirnya pengadilan membuktikan para terdakwa itu terbukti sebagai penjahat dan hakim menjatuhkan putusan hingga dieksekusi?
Bila pilihan kita jatuh pada yang terakhir, sementara dalam kenyataan lain, itu berarti bukan saja hukum dan penegakannya berjalan sia-sia, tetapi juga lebih parah lagi para penjahat bebas berkeliaran menjalankan karir kejahatannya tanpa takut terhadap hukum. Tidak takut pula terhadap negara yang kapasistasnya telah dilucuti oleh pelaku.