Peneliti Ini Beberkan Potensi Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat
Utama

Peneliti Ini Beberkan Potensi Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme pengadilan HAM tergolong sulit. Komisi Kebenaran dan Persahabatan bisa digunakan sebagai salah satu cara menyelesaian pelanggaran HAM berat untuk kasus tertentu.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Narasumber diskusi bertajuk 'Memahami dan Mengurai Impunitas Strategi untuk Melawan Impunitas', Jumat (22/04/2022). Foto: ADY
Narasumber diskusi bertajuk 'Memahami dan Mengurai Impunitas Strategi untuk Melawan Impunitas', Jumat (22/04/2022). Foto: ADY

Impunitas merupakan salah satu persoalan besar di Indonesia. Salah satu contohnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum tuntas. Sebut saja tragedi 1965, Talangsari 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998 dan lainnya. Tidak tuntasnya kasus pelanggaran HAM berat berpotensi menyuburkan impunitas.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asvi Warman Adam, mengingatkan janji kampanye Joko Widodo-Jusuf Kalla salah satunya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam pidato peringatan hari HAM internasional tahun 2020, Presiden Jokowi melalui Menkopolhukam memerintahkan agar penyelesaian masalah HAM berat masa lalu diselesaikan dengan hasil yang dapat diterima semua pihak.

Asvi menanyakan siapa saja yang dimaksud semua pihak? Apakah pelaku pelanggaran HAM juga termasuk? Dia mengingatkan jika penyelesaiannya menggunakan mekanisme islah atau damai antara pelaku dan korban dengan mendapat kompensasi tertentu, hal itu tidak akan diterima komunitas internasional karena tidak ada pengungkapan kebenaran.

Baca:

Asvi mencatat Jokowi menugaskan Menkopolhukam untuk menangani persoalan penyelesaian pelanggaran HAM berat. Dua periode pemerintahan Jokowi tercatat sampai saat ini sudah 3 kali pergantian Menkopolhukam. Pertama, Menkopolhukam di masa Luhut Binsar Pandjaitan pernah menggelar Simposium 1965 pada tahun 2016.

Berganti Wiranto, Asvi mengingat pada masa ini hampir tidak ada kegiatan yang dilakukan Menkopolhukam terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat. “Hanya ada wacana Dewan Kerukunan Nasional,” kata Asvi dalam diskusi bertajuk "Memahami dan Mengurai Impunitas Strategi untuk Melawan Impunitas", Jumat (22/4/2022).

Pada masa Menkopolhukam dijabat Mahfud MD sebagaimana saat ini, Asvi melihat ada wacana membentuk Unit Kerja Presiden untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB). Arahnya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme non yudisial.

Dalam beberapa kali seminar disebut UKP-PPHB ini akan mengumpulkan data pelanggaran HAM berat masa lalu kemudian diberikan kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Padahal UU KKR sudah dibatalkan MK dan sampai saat ini RUU KKR juga tidak masuk dalam prolegnas.

Selain menggunakan KKR, Asvi melihat potensi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan, seperti yang telah dibentuk Indonesia-Timor Leste. Mekanismenya pelanggaran HAM berat diungkapkan dan peristiwa itu diakui kemudian disebut siapa lembaga yang bertanggung jawab dalam melakukan pelanggaran HAM tersebut. Tapi dalam komisi itu tidak ada individu yang diadili.

Menurutnya, tidak semua kasus pelanggaran HAM berat bisa menggunakan mekanisme Komisi Kebenaran dan Persahabatan itu. Harus dipilah kasus mana saja yang memungkinkan untuk menggunakan mekanisme tersebut. Misalnya, kasus penembakan misterius 1980, setelah diungkap kasusnya dan dibeberkan siapa yang bertanggung jawab, maka korban dan keluarganya diberikan kompensasi.

“Ini pemikiran saya kalau pengadilan HAM sulit untuk dilakukan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait