Penelitian FITRA-IJRS Temukan Beragam Masalah Anggaran Kejaksaan
Berita

Penelitian FITRA-IJRS Temukan Beragam Masalah Anggaran Kejaksaan

Ada Kejaksaan Negeri yang punya anggaran eksekusi mati, padahal di sana tidak ada terpidana mati.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Misbah menyebutkan, peran Kejaksaan dalam mengamankan aset negara juga merupakan hal yang tidak kalah penting. Sebagai contoh, pada tahun 2019, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dalam Gerakan Bersama Penyelamatan Aset Negara telah berhasil mengembalikan aset Yayasan Kas Pembangunan (YKP) sebesar 5 triliun rupiah.

Capaian-capaian di atas tentu menjadi catatan positif dari kinerja Kejaksaan dari tahun ke tahun. Akan tetapi, tentunya perlu didorong anggaran yang proporsional, adaptif, dan sesuai kebutuhan Kejaksaan dalam menjalankan tugas, pokok, dan fungsinya. “Jika Kejaksaan sudah ditopang oleh anggaran yang optimal, bukan tidak mungkin kualitas penegakan hukum Indonesia akan lebih baik,” ujar Misbah.

Peneliti IJRS Rima Amelia mengungkapkan, dari penelitian ini menemukan sejumlah hal. Dari sisi serapan anggaran, dinilai yang belum optimal disebabkan perencanaan yang belum komperhensif sehingga alokasi anggaran tidak mampu terserap karena alokasinya tidak berdasarkan kebutuhan aktual satuan kerja sebagai pelaksana anggaran (Pidum dan Pidsus).

Selain itu, ditemukan misalokasi dalam penganggaran yang mengakibatkan DIPA yang turun dari Kejaksaan Agung tidak bisa diserap. Anggaran yang diturunkan memang tidak dibutuhkan oleh Kejati atau Kejari. Contohnya, di salah satu Kejari dalam dua tahun berturut-turut dianggarkan anggaran untuk eksekusi pidana mati. “Sedangkan di Kejari tersebut sama sekali tidak ada terpidana yang harus dieksekusi mati,” ujar Rima.

Rima menyebutkan adanya infleksibilatas kelembagaan dalam perencanaan panganggaran. Misalnya ditemukan dari anggaran antara Pidana Umum dan Pidana Khusus berada dalam program anggaran yang berbeda, sehingga kemungkinan untuk melakukan revisi hanya bisa terjadi di level program saja. Revisi di level antar program memiliki mekanisme yang lebih sulit dan panjang. Kemudian yang lainnya adalah rendahnya kapasitas perencana dan pelaksana anggaran. “Pengunaan Dokumen Renstra dan Renja sebagai basis dalam perencanaan anggaran masih belum banyak dilakukan oleh Kejaksaan di tingkat daerah,” ungkap Rima.

(Baca juga: Catatan Kritis Sektor Hukum Pmerintahan Jokowi Jilid I).

Selanjutnya masih lemahnya sistem pengawasan internal. Dalam hal ini, Rima menyebutkan tentang pelaksanaan pengawasan yang kurang optimal berjalan disebabkan terbatasnya sumber daya yang dimiliki dalam melakukan pengawasan. Akan tetapi ada praktik baik yang terjadi di Maluku utara, dimana Asisten Pengawas terlibat aktif dalam monitoring proses perencanaan dan penganggaran.

Namun bukan berarti tidak ada praktik baik yang terjadi. Contoh hal positif misalnya proses penysunan dokumen anggaran sudah menggunakan pendekatan PBK (Pendekatan Berbasis Kinerja). Hal ini ditemuan disemua lokasi penelitian. Namun praktik baik ini belum sepenuhnya maksimal karena di level Kejari dan Cabang Kejaksaan Negeri belum sepenuhnya memahami rencana strategi dan visi kejaksaan sehingga dalam proses penyusunannya masih dominan berdasarkan kebutuhan wilayah saja.

Tags:

Berita Terkait