Alat bukti petunjuk adalah sebuah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana.
Petunjuk yang dimaksud hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim.
Di dalam KUHAP, terdapat aspek penting yang dibutuhkan untuk mengukur dan menilai suatu kebenaran dari alat bukti yang sah. Jenis-jenis alat bukti yang sah tersebut tertuang di dalam KUHAP yaitu:
1. Keteran saksi yang dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP
2. Keterangan ahli yang dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP
3. Surat, yang dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP
4. Petunjuk, yang dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP
5. Keterangan terdakwa, yang dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP
Lebih lanjut, di dalam KUHAP, alat bukti petunjuk dapat diperoleh melalui keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa, keterangan anak dibawah umur, keterangan orang dengan gangguan ingatan, dan keterangan orang dengan gangguan jiwa.
Baca Juga:
- Profesi Kurator dalam Kepailitan
- Asal Usul Hakim Dipanggil ‘Yang Mulia’
- Profesi Mediator untuk Penyelesaian Luar Sengketa
Untuk mendapatkan alat bukti petunjuk dapat dilakukan dengan mendapatkan alat bukti berupa keterangan saksi, alat bukti surat maupun alat bukti keterangan terdakwa. Sedangkan untuk mendapatkan alat bukti dari seorang anak di bawah umur yang menyaksikan suatu tindak pidana, maka keterangan yang diberikan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai keterangan saksi, melainkan sebagai alat bukti petunjuk.
Kemudian jika seseorang dengan gangguan ingatan menyaksikan terjadinya suatu perkara, mata keterangan yang diberikan itu juga merupakan alat bukti petunjuk. Begitupun dengan seseorang yang divonis mendapat gangguan jiwa, maka keterangannya merupakan alat bukti petunjuk.