Penerapan Prejudiciel Geschill dalam Perkara Publik dan Privat
Utama

Penerapan Prejudiciel Geschill dalam Perkara Publik dan Privat

Prejudiciel geschill hanya dapat digunakan untuk perkara yang para pihaknya sama.

Oleh:
CRN
Bacaan 2 Menit
Penerapan <i>Prejudiciel Geschill</i> dalam Perkara Publik dan Privat
Hukumonline

Tanggal 27 Juni lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan putusan terkait kasus dugaan korupsi perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 26 dan 27/Gelora dengan terdakwa dua mantan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menjawab argumentasi kuasa hukum mantan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta Robert Jeffrey Lumempouw. Pengacara Rober mengganggap bahwa perkara ini mengandung unsur prejudiciel geschill.

 

Berdasarkan penelusuran hukumonline, argumentasi itu sudah diangkat sejak awal dalam nota keberatan tertanggal 3 Oktober 2006 diajukan. Dalam nota keberatan disebutkan bahwa perkara ini mengandung masalah-masalah yang harus diselesaikan dahulu menurut ketentuan hukum perdata (prejudiciel geschill).

 

Apa sebetulnya prejudiciel geschill? Dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea, prejudiciel geschill (prejudicele geschillen) berarti sengketa yang diputuskan lebih dahulu dan membawa suatu keputusan untuk perkara di belakang. Di Indonesia, ketentuan prejudiciel geschill diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1980. SEMA itu membagi prejudiciel geschill menjadi dua.

 

Pertama,  prejudiciel  a l' action, yaitu mengenai perbuatan pidana tertentu yang disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), antara lain Pasal 284 KUHP, dimana disebutkan ketentuan perdata diputus lebih dulu sebelum mempertimbangkan penuntutan pidana.

 

Kedua, question prejudiciel au jugement, yakni menyangkut permasalahan yang diatur dalam Pasal 81 KUHP. Pasal tersebut sekedar memberi kewenangan -bukan kewajiban- kepada hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan menunggu adanya putusan hakim perdata mengenai persengketaan. Lebih lanjut, jika  hakim hendak menggunakan lembaga ini, hakim pidana tidak terikat pada putusan hakim perdata yang bersangkutan. Demikian bunyi  Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 1956. 

 

Meski nota keberatan tidak menunjuk lebih lanjut prejudiciel jenis mana yang dimaksud, namun argumentasi ini pada akhirnya dipertimbangkan juga oleh majelis hakim. Merujuk pada SEMA Nomor 4 Tahun 1980, majelis hakim memasukkan perkara ini dalam prejudiciel geschill berupa prejudiciel au jugement. Artinya, majelis hakim PN Jakarta Pusat tidak wajib menangguhkan perkara pidana, hingga keluarnya putusan pengadilan dalam perkara perdata  soal sah tidaknya perpanjangan sertifikat HGB Nomor 26 dan 27/Gelora.

 

Perkara perdata itu diajukan di PN Jakarta Selatan dengan melibatkan PT Indobuildco sebagai penggugat dan BPN, Sekretariat Negara (Sekneg) serta Kejaksaan Agung sebagai tergugat. Meski telah diputus beberapa waktu lalu. Namun hingga kini putusan PN Jakarta Selatan itu  belum berkekuatan hukum tetap karena pihak tergugat mengajukan upaya hukum banding.

 

Sejalan dengan itu, majelis juga menggunakan Perma Nomor 1 tahun 1956. Karenanya, majelis menyerahkan permasalahan status kedua HGB itu tersebut kepada hakim perdata, dan dalam hal ini hakim PN Jakarta Pusat tidak terikat pada putusan pengadilan dalam perkara perdata.

 

Tidak tepat

Menurut pakar Hukum Acara Pidana Chaerul Huda, penggunaan prejudiciel geschill dalam perkara ini tidak tepat. Menurut dia, kasus ini bukanlah perselisihan prejudiciel geschill, karena tidak ada hubungan antara masalah perdata dengan pidananya. Di perdata, pihak Indobuildco melawan Sekneg, di pidana para pihaknya JPU dengan BPN.

 

Lebih lanjut ia mengambil Pasal 284 KUHP tentang perzinahan sebagai contoh prejudiciel geschill. Pasal 284 KUHP mengatur bahwa sebelum hakim pidana menjatuhkan putusan tindak pidana perzinahan yang dilakukan oleh seorang suami, maka harus ada putusan perdata lebih dulu tentang perceraian antara istri dan suami yang dituduh berzina itu. Artinya, pemeriksaan perkara pidana harus ditangguhkan hingga adanya putusan perdata. Dalam perceraian (perdata), pihaknya itu adalah suami istri. Demikian pula para pihak dalam perkara pidana, pihaknya juga si istri sebagai pelapor-yang kemudian diwakili oleh negara/JPU dengan suami sebagai terlapor. Jadi  pihak yang sedang sengketa perdata itu adalah pihak yang sama dengan pihak yang berperkara di pidana, ujarnya.

 

Prejudiciel geschill, mutlak atau tidak?

Lebih lanjut dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta ini menuturkan teori menyangkut hakikat peran negara dalam menyelesaikan konflik kemasyarakatan saat ini juga sudah mengalami perkembangan. Kalau dulu, negara mengambil posisi dominan, termasuk dengan memberdayakan hukum pidana. Sekarang, peran negara justru ingin diundurkan, sejauh mungkin konflik kemasyarakatan diselesaikan oleh masyarakat itu sendiri, bebernya.

 

Di sinilah menurutnya sebenarnya asal ketentuan  prejudiciel geschill. Yakni adanya kasus-kasus tertentu yang unsur publiknya tidak murni, karena juga ada unsur privat di dalamnya. Sehingga campur tangan negara terhadap quasi privat atau quasi publik menunggu penyelesaian dari segi privatnya.

 

Chairul kembali mengambil Pasal 284 KUHP sebagai contoh. Kalau ada seorang suami didakwa, maka istri juga akan ikut menderita. Oleh karena itu mereka harus bercerai dulu, supaya ketika si suami didakwa melakukan perzinahan, si istri tidak merasa lantas dia menjadi bagian dari terdakwa. Tujuannya agar para pihak-pelaku dengan korban tidak sama, jelasnya.

 

Dalam hal ini, sifat privat lebih menonjol dari segi publik. Karena itu menurut Chaerul, segi privat harus diselesaikan lebih dulu baru kemudian negara bisa campur tangan. Inilah kemudian yang dimaksud dengan question prejudiciel a l action, artinya penundaan perkara pidana bersifat mutlak, terangnya.

 

Dalam perkembangannya, sifat mutlak itu mengalami pergeseran. Ia mengambil kuasa pertambangan yang sedang digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) sebagai contoh. Untuk bisa membuktikan apakah orang yang menerima kuasa pertambangan telah melakukan illegal logging atau tidak, menunggu putusan pengadilan TUN yang memeriksa pemberian kuasa pertambangan itu, sebab sifatnya tidak semata-mata privat, jelasnya.

 

Inilah yang kemudian dimaksud Chaerul dengan question prejudiciel au jugement. Artinya, pidananya ditunda atau ditangguhkan dulu sampai TUN-nya mempunyai kekuatan hukum tetap, tambahnya. 

 

Meski demikian, Chaerul mengakui bahwa sifat mutlak atau tidaknya penangguhan masih menjadi perdebatan. Ada yang berpendapat penundaan itu tidak mutlak, karena publik dengan publik sama kuatnya-sehingga kemudian dapat untuk menolak menangguhkan. Tapi ada juga yang berpendapat sama wajibnya, sepanjang perselisihan di luar sifat pidana dan perselisihan itu menentukan pemenuhan salah satu unsur dari salah satu tindak pidana, beber  Chaerul.

 

Ia juga menambahkan, meski wewenang untuk menentukan mutlak atau tidaknya penangguhan perkara berada di tangan hakim, namun sesuai Pasal 81 KUHP penuntut juga punya hak untuk menentukan demikian. Jadi tidak perlu ditunggu sampai hakim yang memutuskan, ujarnya.

 

Lebih lanjut Chaerul menuturkan, berdasarkan sejarahnya, SEMA Nomor 40 Tahun 1980 dan Perma Nomor 1 Tahun 1956 lahir ketika pengadilan masih sederhana dan belum berkembang seperti sekarang. Itu sebabnya, kata Chairul, kedua aturan tersebut sudah selayaknya diperbaiki.

 

Sudah tidak relevan dan harus diperbaiki untuk memperjelas kompetensi ruang-ruang pengadilan. Sebab pengadilan sekarang sudah sangat berkembang, tidak seperti  dulu yang masih bisa dibedakan dengan jelas. Pemakaiannya pun harus digunakan dengan benar, jangan hanya sekedar dijadikan alasan, ujarnya mengingatkan.

 

Tags: